"Katanya, memendam bukanlah pilihan untuk bahagia. Tapi memendam, bisa menahan luka lebih banyak lagi."
***
Di antara banyaknya harapan, Zara tak pernah tau jika harapan yang dulu tak ia anggap ada—yang justru mengantarkannya menuju gerbang kesuksesan. Tentu menjadi seorang penulis, bukanlah mimpinya dulu. Tapi ternyata, takdir menuliskannya untuk lebih dari sekedar hobi saja.
Hebatnya kini, menulis bukanlah hanya media penunjang hobi bagi Zara. Tapi menulis, kini adalah separuh nyawanya. Terlepas dari menulis itu mimpinya atau bukan dulu, berpisah dengan kegiatan tulis menulis tentu akan sangat sulit untuk Zara.
"Sudah siapkah untuk hari ini, Zara?"
Tanya itu tak langsung dijawab oleh sang penulis. Perempuan muda yang saat ini mengenakan rok jeans dan kemeja panjang berwarna lilac itu masih terpaku, pada pemandangan para fans atau pembaca karyanya di bagian lobi ballroom.
Memang tak bisa semuanya bisa masuk, hanya orang-orang tertentu yang sudah mendapatkan tiket khusus. Tak cukup banyak seperti sebuah konser memang, tapi hal itu mampu mengetuk pintu hatinya yang sempat meragu untuk bertemu dengan mereka.
Hatinya dipenuhi haru, merasakan bagaimana penuh kasihnya para pembaca pada diri Zara. Dengan kedatangan mereka ke sini, merupakan bentuk kalau mereka mencintai penulisnya, kan?
"Aku siap menyapa mereka, Lydia."
Satu anggukan diiringi senyum lebar nampak dari wajah Lydia, perempuan yang lahirnya beda beberapa bulan dari Zara itu cukup senang dengan keputusan yang Zara ambil ini.
"Ayo, kamu tinggal tunggu di backstage. Pembawa acara sebentar lagi panggil kamu," kata Lydia sambil mengulurkan tangan kananya pada Zara—bersiap menuntun langkah sang penulis itu menuju tempat yang seharusnya dia pijak.
"Aku tak salah memang memilih kamu menjadi kaki tanganku, Lydia." Mendapat perlakuan yang cukup manis dari Lydia sebagai kaki tangannya, Zara tak urung bersyukur dalam hati. Meski Lydia baru bekerja dengannya dalam hitungan bulan, tapi perempuan itu cukup paham seperti apa karakter dan kebiasaan Zara.