SATARUPA

Nawasena Afati
Chapter #6

04 : Sosok Lelaki Misterius

"Nyatanya, secuil saja perhatian dari seseorang—mampu mencairkan hati yang telah membeku."

***

Terdapat dua situasi yang tidak sangat disukai oleh seorang Zara Kalila Husna. Yang pertama, di saat dia tak bisa berbagi apa yang dirasakannya pada orang lain seperti kebanyakan orang. Dan yang kedua, adalah ketika Zara harus menahan diri agar kecemasan yang seringkali menjadi boomerang untuknya tidak kambuh.

Sebenarnya Zara masih bisa menerima jika kecemasan itu timbul di saat dia sedang sendirian, tapi dia tidak bisa terima jika kecemasan tersebut hadir di waktu yang tidak tepat seperti sekarang ini.

"Shit! Aku nggak bisa lagi kendalikan semua ini."

Pandangan Zara masih menyorot ke depan, lebih tepatnya pada audiens yang juga sama sepertinya—menunggu pembawa acara menutup acara seminar literasi ini.

Membuka sedikit mulut, Zara lakukan itu agar pernafasannya jadi lebih leluasa. Meski tidak bisa menjadi penolong sepenuhnya, tapi setidaknya dia masih bisa mengulur waktu kambuhnya kecemasan yang semakin tak terkendali.

"Terimakasih banyak atas perhatiannya, wassalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh."

Tepat ketika sang pembawa acara menutup acara seminar itu, Zara bangkit berdiri dan langsung berlari menuju backstage. Persetan dengan segala pemikiran dari orang yang melihatnya, mereka pasti berpikir kalau dirinya ini sudah kebelet. Biarkan saja mereka berpikir begitu, asalkan tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada diri Zara.

Masih dengan dua kaki yang melangkah lebar-lebar, Zara memegangi dadanya yang terasa lebih sesak di sana. Detik-detik ini adalah situasi yang Zara benci setelah dia tau ada masalah dalam diri. Tidak ada yang tau, dan tidak ada yang menolong. Tiap kali kekambuhan itu menyerang, Zara memilih untuk menarik diri dari hadapan orang-orang. Pikirnya, jika ada orang yang tau seperti apa sebenarnya diri Zara—mereka justru tidak akan lagi menyukai sosok hebat di balik nama pena Senjakala Lara itu.

Ketika berhadapan dengan situasi ini, lorong yang akan membawanya menuju toilet biasanya sangat dekat. Tapi sekarang, lorong itu terasa amat panjang dan membuat langkah Zara kian melambat karena kehabisan tenaga. Meskipun begitu, membiarkan kambuhnya kecemasan di lorong ini—adalah hal yang sangat tidak Zara inginkan.

Dan ketika dia mencapai gagang pintu toilet, Zara harus memutar gagang pintu itu sebanyak 3 kali karena dia kesulitan mengendalikan kecemasannya sendiri. Dirinya baru bisa meloloskan nafas panjang ketika pintu itu terbuka dan keadaan sedang sepi.

Menutup pintu, Zara pada akhirnya meluruhkan badannya di lantai toilet yang dingin. Dia tarik nafas dalam-dalam untuk mengembalikan kestabilan bernafasnya, dia mencoba memberi afirmasi positif pada diri dengan memejamkan mata.

"Oke nggak apa-apa, Zara. Kamu hebat, kamu kuat, kamu bisa bertahan sejauh ini. Sekarang nggak apa-apa kalau mau kambuh lebih lagi, di sini tidak ada siapapun." Gadis itu berkata dengan terbata. Pernafasannya yang menjadi pendek di saat kecemasan melanda, membuat suaranya tidak hanya terbata. Tapi juga terdengar pelan dan putus-putus.

Atmosfer di ruangan toilet itu Zara rasakan cukup berbeda. Tentu bukan karena toilet tersebut ada penunggunya, tapi karena Zara yang pada akhirnya mampu mengendalikan kecemasan tersebut setelah menghabiskan waktu selama 7 menit di dalam toilet seorang diri.

Lihat selengkapnya