“Hakikatnya, seorang kakak yang seolah terlihat tak peduli, justru jauh lebih menyayangi adiknya dibandingkan dirinya sendiri.”
***
Menatap kosong ke jauh dalam keheningan, mungkin bagi sebagian orang akan dikaitkan dengan hal mistis. Pasalnya, ciri-ciri orang yang sedang ketempelan makhluk halus adalah melamun di malam hari seperti ini.
Tapi, apa yang Zara lakukan ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan hal mistis. Dia menatap kosong dalam keheningan karena sedang menikmati desauan angin malam yang menyentuh pori-pori kulitnya. Apa yang dilakukannya kini hanya sedang mencari ketenangan, karena dalam pikiran Zara terlalu berisik untuk dipadamkan.
Setelah apa yang siang hari tadi terjadi pada dirinya, pikiran Zara tak bisa berhenti memikirkan segala hal. Dia memikirkan akan bagaimana jika tadi siang ia tak bisa mengendalikan kecemasan yang kambuh, dia memikirkan akan seperti apa respon orang-orang kalau tau dia adalah penyintas anxiety, dia juga memikirkan siapa sosok lelaki misterius yang sudah memberikannya cara mengatasi kecemasan itu.
Otaknya, seolah tidak kenal lelah untuk selalu berpikir dan berasumsi yang tidak-tidak. Dan sialnya, Zara kesulitan memadamkan overthinking itu. Harus ada sesuatu hal yang ia lakukan untuk meringankan overthinking, kemudian lenyap terbawa suasana yang ada.
Duduk di atas lantai granit yang terasa dingin, kedua kaki yang ia sengajakan berselonjor—Zara menikmati hembusan angin malam itu dengan menarik nafasnya dalam-dalam kemudian menghembuskan perlahan. Kegiatan yang satu ini, cukup menenangkan dan mampu menaikkan mood yang sudah berantakan sejak siang tadi.
Bahkan Zara tak segan untuk memejamkan matanya ketika angin menyentuh kulit lalu sampai menusuk ke tulang. Dia juga biarkan rambut hitam sebahunya itu tergerai agar angin juga menerbangkan rambut itu.
Konyol memang jika ada orang lain yang melihatnya kini, tapi ini menjadi salah satu cara untuk Zara mengenal lebih dirinya sendiri.
Hanya baru saat sepasang telinganya mendengar sebuah suara ketukan di pintu kamar, gadis dengan piyama berwarna maroon itu menolehkan kepala—menjeda dulu kegiatannya di malam ini.
Tok! Tok! Tok!
Suara itu semakin kencang terdengar, sehingga mampu menghadirkan decakan sebal dari bibir sang gadis. Zara kemudian berdiri, mengambil langkah menuju pintu kamar yang ia terka kalau seseorang di balik pintu itu adalah sang adik.
“Apa?!” Cukup tidak santai saat Zara membuka pintu kemudian menjawab ketukan itu dengan wajah ciri khas saat dia sebal.
Seorang lelaki dengan perawakan tinggi lalu tersenyum pongah. “Biasa aja dong! Jangan jadi Kak Ros malam-malam begini,” katanya.