SATARUPA

Nawasena Afati
Chapter #9

07 : Hakikat Kehidupan

“Hidup itu ternyata penuh perjuangan. Siapa yang kuat dan bertahan, maka dialah pemenang sejati.”

***

“Tenang. Tarik nafas dalam-dalam, kemudian hembuskan. Anggap perkataannya itu angin lalu, Zara.” Meluruskan punggung, Zara menghirup oksigen sebanyak-banyaknya melalui rongga hidung. Kemudian dia keluarkan dengan perlahan lewat mulutnya yang sedikit terbuka.

Tak bisa dipungkiri, sekali pun dirinya sudah pergi dari rumah—meninggalkan sosok sang penabur luka, perkataan wanita itu terus terngiang-ngiang dan pada akhirnya mampu mentrigger gangguan kecemasan yang Zara punya.

Memilih untuk menunda perjalanan sejenak, Zara memutar haluan gerak kuda besinya itu menuju tempat yang agak sepi. Tidak sepi semacam kuburan atau hutan yang dimaksud, tapi sebuah jalan yang sekiranya jarang dilalui oleh orang ataupun pengendara lain.

Itu pun karena kondisi hari yang masih pagi. Lain hal jika ini terjadi di malam hari. Zara tidak mungkin memilih jalan tersebut untuk tempatnya rehat sejenak.

Teknik pursed lip bretahing namanya. Teknik melatih pernafasan yang cukup baik untuk mengatasi kecemasan. Dilakukan seperti apa yang saat ini Zara sedang lakukan. Menutup mulut rapat-rapat, kemudian menghirup oksigen dari hidung dan mengeluarkan dari mulut.

Dan untuk apa alasan yang signifikan jika seseorang sedang cemas, maka salah satu untuk mengatasinya adalah dengan melatih pernafasan? Itu karena saat seseorang menarik nafas dalam-dalam, aliran udara yang masuk ke dalam tubuh akan lebih banyak sehingga membantu menenangkan sistem syaraf.

Berada di sebuah jalan yang mana menghubungkan sebuah kampung dengan jalanan Kota, Zara mencoba menggunakan teknik yang lain guna menghilangkan cemasnya.

Di mana dia akan menggunakan semua panca indra untuk mengalihkan fokus pikiran yang sedang tertuju pada satu hal, yaitu kecemasan.

“Pohon Mangga, rumput alang-alang, tanah yang gersang, sebuah traktor, sendal jepit lusuh tak terpakai.” Zara mengawalinya dengan menggunakan indra penglihatan untuk menyebutkan satu persatu hal apa yang dia lihat.

“Suara kendaraan, suara burung berkicau, suara dari nafasku sendiri.” Dia melanjutkan teknik tersebut dengan menggunakan indra pendengarannya.

“Stang motor, tas selempang, jilbab.” Kali ini Zara menyebutkan apa yang bisa dia sentuh dengan tangannya.

Gotcha! Perlahan tapi pasti, kecemasan tersebut menguap dari permukaan. Mengembalikan kurva senyum yang sempat tak terbaca dari garis wajah sang penulis pagi ini.

Ah, berat sekali rasanya. Setiap harinya harus waspada dengan sesuatu hal yang bisa menjadi pemicu untuk kecemasan itu hadir. Tapi setiap kali Zara berhasil mengendalikan kecemasan tersebut, sesuatu dalam dirinya merasa bangga. Sudah bertahan sejauh ini dengan keadaan yang penuh dengan luka, tentu tidak akan mudah, bukan?

“Ayo kita lanjutkan perjalanan!” Senyum ceria nampak mengembang di bibir Zara ketika dia lepas dari jerat cemasnya sendiri. Dia yang sebenarnya adalah pribadi ceria, telah terganti karena kecemasannya itu.

Lihat selengkapnya