SATARUPA

Nawasena Afati
Chapter #11

09 : Tempat Bersejarah di Banten

“Pandangan mata adalah titik di mana seorang insan mengerti berbagai perasaan dalam benak. Meski bibir terkunci rapat, pandangan matalah yang akan jujur menjawab.”

***

Binar Sang Surya di pukul 13.12 menit ini membuat Zara menyipitkan pandangan saat turun dari mobil. Agak terlambat dari perkiraan sebelumnya untuk sampai, karena di jalanan tadi—ada demo yang menghambat perjalanannya. Tapi semua itu terbayarkan dengan pemandangan indah di siang hari ini.

Sinar Mentari siang ini memang amatlah menyalak, berhasil menembus pori-pori kulit Zara yang terhalang pakaiannya. Tapi semua itu tidak melunturkan nilai keindahan dari wajah Masjid Agung Banten ketika Zara menapakkan kaki kiri sebagai pijakan pertama di atas permukaan bumi tersebut.

Disusul kaki kanan, gadis dengan set gamis berwarna dark maroon itu resmi berdiri tegak di atas tungkai kakinya sendiri. Pandangannya menyapu ke seluruh bagian Masjid Agung Banten dari arah Timur ini.

Indah, hawa religinya pun terasa amat kental.

Bangunan megah yang kaya akan nilai arsitektur ini merupakan salah satu peninggalan yang tersisa dari bekas Kota Kuno Banten—pusat perdagangan paling makmur di Indonesia, setelah jatuhnya Kesultanan Demak pada pertengahan abad ke 16.

Sultan Maulana Hasanudin adalah pembuatnya. Dibangun pertama kali pada tahun 1556. Masjid ini, dikenal dengan bentuk menaranya yang sangat mirip dengan bentuk bangunan Mercusuar. Tentu saja membuat banyak orang tertarik untuk berkunjung. Selain karena keindahannya, orang-orang berkunjung juga untuk berziarah ke makam para Sultan Banten beserta keluarganya.

Berdecak, Zara merasa dirinya terpana dengan Masjid Agung Banten ini.

"Mari, Mbak! Kita sudah terlambat shalat dzuhur."

Kepala Zara lantas tertoleh ketika suara seseorang masuk ke gendang telinganya. Dia merasa tertarik dari lamunan singkat tentang sejarah Masjid Agung Banten yang pernah Zara baca di internet. Dia mendesah, saat sadar jika ada waktu shalat dzuhur yang sempat tertunda.

"Ah, iya. Ayo kamu duluan," kata Zara mempersilakan seseorang yang tak lain adalah Arkhan untuk berjalan lebih dulu. Tentunya karena lelaki muda itu yang lebih tau daerah ini dibandingkan Zara.

Ketika sampai di pelataran Masjid, Zara dan Arkhan berpisah menuju tempat wudhu masing-masing gender. Mereka sepakat untuk bertemu di depan pelataran lagi setelah selesai menunaikan kewajiban fardhunya.

Lihat selengkapnya