“Jika orang asing saja bisa mengerti. Seharusnya kamu jauh lebih mengerti sebagai orang terdekatku.”
***
Sinar Sang Surya yang mengintip malu di celah-celah pepohonan besar, berhasil menerpa wajah seorang perempuan. Hingga menciptakan rona kemerahan yang lembut di daerah kedua pipinya. Perempuan itu sedang menenggak minuman air mineral miliknya perlahan, merasakan dahaga yang tadi cukup menyiksa—kini lesap dengan aliran air mineral yang masuk ke dalam tenggorokan.
“Arghh, lega sekali,” seru perempuan muda yang tak lain adalah Zara itu. Dia menyandarkan punggung pada kursi taman, sembari meletakkan sebotol air mineral itu di area kursi yang kosong.
Setelah beraktivitas cukup banyak di Benteng Speelwijk ini, Zara baru bisa menikmati pemandangan area Benteng dengan cara diam merenung seperti ini. Merasakan seperti apa embusan angin menyapa wajah, sampai membuatnya terlena untuk memejamkan mata.
Sejak awal dia duduk di sini, Zara sengaja membiarkan wajahnya diterpa sinar matahari. Biar saja wajahnya sedikit panas itu, asalkan pemandangan tepat di depannya ini—bisa Zara lihat dengan jelas sekali.
Tapi saat embusan angin itu terasa menyentuh kulit wajah, Zara kini tak merasakan adanya sinar matahari menerpa wajahnya. Dia memang sudah merasakan perbedaan itu beberapa detik yang lalu, tapi masih enggan membuka mata untuk sekedar melihat ke mana perginya sinar matahari itu.
“Kalau mau berjemur, jangan di sini, Mbak. Saya punya tempat yang bagus buat berjemur.” Lalu, sebuah suara begitu mengiringi sinar matahari yang hilang itu.
Zara berjengit, dia hampir saja melompat dari kursi jika tidak siap untuk menjaga refleks tubuhnya. Kehadiran Arkhan tiba-tiba dengan tangannya menghalangi sinar matahari itu pada wajah Zara, membuat perempuan berjilbab Sage itu meloloskan nafas kasar.
“Arkhan! Kamu bikin saya kaget,” seru Zara yang justru menghadirkan tawa kecil di bibir yang sialnya terlihat manis saat tertawa.
“Maaf, Mbak. Saya nggak bermaksud buat bikin Mbak kaget kok. Tadinya, saya mau bilang ini baik-baik. Cuma pas lihat Mbak lagi menikmati pemandangan di sini, saya nggak enak buat ganggu. Sampai pada akhirnya, saya lihat muka Mbak kepanas—”
“Terus kamu inisiatif taruh tangan kamu buat halangi sinar matahari biar ga sentuh wajah saya? Begitu?” Zara memotong ucapan Arkhan secepat kilat.
Arkhan lantas menyengir kuda sebagai respon. Tangannya juga naik untuk menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
“Kamu tidak perlu repot-repot begitu, Arkhan.” Zara berbicara sambil menegakkan tubuhnya. Dia jadi sedikit emosional saat Arkhan dengan tiba-tiba memberinya perhatian lebih seperti itu.
Jujur saja, Zara hanya takut dengan efek samping dari hal-hal semacam itu. Selama ini, dia seringkali menghindari hal-hal manis dari siapapun karena tak ingin terjerat. Ya! Zara akui hatinya ini mudah untuk jatuh dan terjerat. Maka sebisa mungkin, dia menjaga hal-hal semacam itu untuk tidak menghampiri dirinya.
“Maaf, Mbak. Saya tidak bermaksud untuk lancang kok. Perihal perkataan saya tadi, saya serius. Saya tau satu tempat yang bagus buat Mbak berjemur,” kata Arkhan mengulang perkataan sebelumnya.