“Orang yang dekat dengan kita, belum tentu dia bisa memahami seperti apa kita. Maka akan jauh lebih baik, jika kita bersama dengan orang yang mampu memahami kita dengan baik.”
***
Napas masih terasa tersengal-sengal seiring Zara menghirup udara itu. Keringat dingin pun, masih menetes dari pori-pori kulit—membasahi sebagian tubuhnya. Dunia sekarang sudah lebih jelas terlihat. Namun gemetar di tubuh, masih mengingatkannya pada badai yang baru saja mereda. Bukan badai lautan yang disertai angin kencang, tapi badai dalam tubuh Zara yang berhasil membuatnya merasakan lelah seperti ini.
Pasca serangan panik menyerang, Zara masih tak banyak bicara ataupun melakukan pergerakan dari tempatnya kini duduk. Dia hanya menatap kosong lautan bebas di hadapannya, dengan kapal yang ditumpangi masih mengapung di lautan itu.
Tapi syukurlah, serangan panik itu hanya berlangsung beberapa menit. Tidak sampai membuat orang-orang yang duduk di bagian depan kapal tau, jika Zara telah melalui badainya itu susah payah.
Hanya ada satu orang yang tau. Dan hal itu sedikit membuat Zara kesal dan merasa malu sekaligus. Dia kesal, kenapa harus ada orang lain yang tau jika seorang Zara Kalila Husna memiliki kelemahan seperti ini? Dan malu, saat Zara tanpa sadar meminta tolong pada orang tersebut.
“Sekarang Mbak minum dulu. Saya tau, pasti rasanya melelahkan.” Sebuah suara bariton membuat kepala Zara memutar ke sisi kiri, dia lupa jika orang itu masih bersamanya sejak Zara merasakan serangan panik.
Tangan Zara yang masih terasa bergetar, terulur untuk meraih sebotol air mineral yang tutup botolnya sudah lebih dulu dibuka barusan oleh sang pemberi—berniat memudahkan Zara untuk segera minum.
“Terimakasih, Arkhan,” ucap Zara pada sang pemberi minuman sekaligus orang yang menyaksikannya terkena serangan panik—Arkhana Xavier Alarich.
Zara langsung mengarahkan botol itu ke bibir, dahaga yang terasa mencekik lehernya sekarang berangsur-angsur pulih kembali. Perempuan yang masih menenggak air mineral itu sedikit merenung, bertanya pada dirinya sendiri—kenapa dia sulit sekali untuk mengontrol serangan panik itu? Kenapa harus ada orang lain yang membantunya di sini?
“Sekarang sudah cukup lega kan, Mbak?” tanya Arkhan yang membuat Zara menurunkan botol itu dari bibir—dia menyudahi kegiatan minumnya.
Tersenyum tipis dengan kepala sedikit menunduk, Zara berikan pada Arkhan sebagai jawaban. Meski sekarang keadaan sudah kembali baik-baik saja, Zara tak kehabisan rasa cemas yang lain. Dia sekarang berpikir, akan seperti apa respon Arkhan ke depannya? Setelah lelaki itu tau kalau seorang Zara Kalila Husna, si Penulis itu adalah orang dengan gangguan mental.
Apa dia akan sama seperti mereka-mereka yang memberi judge buruk pada orang dengan gangguan mental? Memberi statement kalau orang dengan gangguan mental adalah orang yang tidak dekat dengan Rabb-Nya. Atau, menyebut orang dengan gangguan mental adalah orang yang kurang bersyukur dengan keadaan.
Zara menghembus nafas kasar atas pemikiran beratnya itu.