“Menangislah kalau dirasa itu menyakitkan. Menangis, tidak akan membuat kamu terlihat buruk kok.”
***
Sampai hari kemarin, Zara masih merasa kalau hidupnya sudah yang paling buruk di antara yang terburuk. Cita-cita masa kecilnya tidak tercapai, sulitnya mencari pekerjaan saat itu, menghadapi persoalan sosok anak pertama perempuan yang harus tangguh, dihadapkan dengan sang ayah yang berselingkuh dari sang ibunda, sampai tekanan untuk menikah Zara rasakan akhir-akhir ini. Tapi ternyata, persoalannya itu tidak jauh lebih besar dari persoalan Arkhan yang terdengar begitu kompleks.
Pasca perdebatan di ruang tamu Villa itu, di mana Zara tidak sengaja menguping pembicaraan mereka, sampai Zara mendengar ancaman tak langsung yang dilontarkan oleh Arkhan. Pasca semua itu, Zara masih belum bertemu lagi dengan Arkhan. Laki-laki itu langsung pergi usai bertanya dan tak kunjung mendapatkan jawaban dari sang ayah.
Mereka memang sempat berpapasan di daun pintu, tapi Arkhan seolah tidak melihat keberadaannya dan langsung berlari meninggalkan Villa entah ke mana. Bahkan di waktu yang menjelang siang ini, lelaki itu masih belum juga kembali. Padahal, mereka sudah waktunya untuk kembali pulang.
Nomor ponsel milik Arkhan pun sudah berkali-kali dihubungi oleh Zara ataupun Lydia. Tapi lelaki itu masih tidak mau menjawab. Entah di mana dia, dan Zara cukup mengkhawatirkan keadaannya.
“Kalau sampai jam kita di sini habis dan Arkhan belum juga kembali, aku mau protes ke pak Subroto. Salah satu karyawannya nggak becus buat kerja.” Lydia sudah mengomel panjang ketika tau jika Arkhan pergi begitu saja tanpa bilang apapun. Bukannya apa-apa, mereka sudah harus kembali pulang dari perjalanan liburan ini. Dan sekarang, harus menunggu tour guide tak bertanggungjawab yang pergi entah ke mana.
“Kita tunggu sebentar lagi ya! Aku yakin dia pasti kembali,” balas Zara yang mengerti dengan kondisi hati Arkhan yang sedang terluka.
Bahkan kepergiannya ini Zara yakini sebagai pelepasan dari lukanya. Arkhan mungkin butuh waktu untuk menyendiri setelah dia tergores luka.
“Kamu jangan terlalu belain dia deh, Ra. Jangan mentang-mentang dia beberapa hari ini deket sama kamu, dia jadi seenaknya begini. Itu namanya nggak bertanggungjawab sampai tuntas. Aku tetap mau protes,” ucap Lydia begitu keukeuh.
“Ya, okay. Terserah kamu mau gimana, tapi aku tetap yakin dia itu cuma butuh waktu sebentar. Kamu bilang begitu karena nggak lihat dia bertengkar hebat sama ayahnya, Lydia.”
“Ya itu berarti dia nggak profesional dong. Seharusnya jangan bawa-bawa urusan pribadi kalau lagi kerja,” kesal Lydia lagi.