“Perasaan sedih itu perlu divalidasi, jangan sampai dia yang terlalu lama dikurung malah akan membuatmu kehilangan rasa sedih itu sendiri.”
***
Bagi Zara, perjalanan liburan ini mungkin saja pelariannya dari tekanan untuk segera menikah. Dia menjauh untuk sementara dari orang tuanya yang sedang kebelet menikahkan puterinya karena anak tetangga sudah menikah.
Hah, terkadang para orang tua memang lucu. Mereka selalu melihat tolak ukur putera puterinya dari anak tetangga. Bukan hanya tentang menikah, tapi perihal karier dan kesuksesan pun para orang tua seringkali melihat tolak ukur dari anak tetangga.
Padahal, setiap anak mempunyai waktunya masing-masing. Baik itu dalam karier, kesuksesan, ataupun menikah itu sendiri.
Tapi sungguh Zara tak pernah menduga hal ini akan terjadi di dalam perjalanan liburan berkedok risetnya. Dia yang tanpa sengaja kelemahannya diketahui oleh Arkhan yang merupakan tour guide-nya. Pun dengan dirinya, yang tanpa sengaja mengetahui kalau Arkhan—bukanlah laki-laki yang selalu menebarkan senyum meneduhkan pada kliennya. Dia tidak lebih dari seorang anak laki-laki yang haus akan kasih sayang dari orang tuanya.
Cakrawala siang ini memanglah masih sama teriknya dengan waktu satu jam yang lalu. Di mana Sang Surya membentangkan sinarnya ke seluruh dunia dari ujung ke ujung. Tanpa pernah absen, tanpa lelah, pun tanpa teman dalam bertugas menyinari seluruh permukaan bumi.
Dengan terik Sang Surya yang masih menyala itu, kedua insan masih belum berdiri dari duduknya setelah 6 menit yang lalu bertemu. Mereka adalah Zara dan Arkhan. Keduanya masih merasakan terhubung melalui ikatan yang tercipta tanpa disengaja itu.
“Arkhan, saya bilang begitu bukan karena ingin menjelek-jelekkan hidup kamu. Tapi kamu harus ingat, jangan pura-pura untuk kuat. Kalau kamu mau nangis, nangis aja nggak apa-apa. Seorang lelaki juga butuh nangis seperti perempuan, kan? Itu hal yang manusiawi dan wajar.” Dengan sedikit pengetahuannya di dalam dunia kesehatan mental, Zara menemukan beberapa fakta dari orang yang selalu mengenyahkan perasaan sedih mereka. Termasuk juga dirinya sendiri, dan sekarang adalah Arkhan.
“Perasaan sedih itu perlu divalidasi, Arkhan. Mereka hadir sebagai pengiring dalam kehidupan kita. Kebanyakan dari kita seringkali menahan kesedihan itu, bahkan terkesan tidak ingin menangis karena orang-orang di sekitar kita—selalu menjudge kalau menangis itu adalah hal yang lemah. Padahal, riset saja membuktikan. Kalau menangis itu melepaskan hormon endorfin dan oksitosin yang akan membuat manusia merasakan rileks.”
“Kamu lihat di sekeliling kita, Arkhan! Kalaupun kamu menangis di sini, mereka tidak akan peduli dengan apa yang kamu lakukan. Jadi, menangislah!”
Zara memang berhasil melontarkan kalimat-kalimat positif yang mengandung motivasi, tapi nyatanya itu tidak berlaku bagi Arkhan yang sekarang mulai dalam fase depresinya.
Lelaki itu nampak tersenyum kecil atas penjelasan Zara yang panjang lebar itu, sementara hatinya tak sama sekali tersentuh dengan perkataan perempuan itu. Arkhan merasa, kalimat-kalimat yang barusan dilontarkan oleh Zara justru membuatnya semakin down. Ia semakin merasa berada di dalam posisi paling terendah dalam hidup.