“Terkadang, kita hanya terus melihat satu kesalahan orang dan melupakan beribu kebaikannya. Dan hal itulah yang pada akhirnya membuat kita menjadi orang yang sulit untuk percaya pada sesuatu, apalagi seseorang.”
***
Dalam hidupnya selama 26 tahun ini, Zara seringkali merasa terfokus pada sesuatu hal yang membuatnya merasa sakit. Dalam artian, dia melupakan saat-saat dia bahagia hanya karena beberapa luka itu. Padahal sejatinya, semua luka itu mendewasakan. Semua luka itu memang membuatnya terbentur dan terguncang. Tapi Zara tidak menyadari, karena luka itu juga dia pada akhirnya terbentuk. Ya! Terbentuk menjadi seseorang yang lebih berhati-hati, menjadi orang yang tentunya lebih baik lagi.
Perihal sebuah kepercayaan yang menipis dalam hidup Zara, dia menyadari kalau hal itu tak seharusnya membendung relung hatinya. Memberi kesempatan pada sang ayah yang dia banggakan sejak dulu untuk berubah, sepertinya bukanlah jalan yang buruk.
Sang ayah memang pernah melukai hatinya dan sang ibu, tapi bisa saja itu dilakukannya ketika sang ayah sedang ada di dalam masa-masa terendahnya. Dan Zara tidak mengetahui hal pasti yang terjadi itu. Dia seringkali menjudge orang dengan satu kesalahan fatalnya, tapi melupakan beribu kebaikan yang sudah dilakukan lebih dulu dibandingkan kesalahan.
Perselingkuhan memang kesalahan yang fatal. Tapi tidak memaafkan juga sama buruknya dengan itu.
“Zara, ayo kita makan!” Suara lengkingan itu pada akhirnya membuat Zara menolehkan kepala. Dari ruangan lantai bawah, sang ibu menyeru dengan lantang untuk memanggilnya segera bergabung dengan mereka.
Setelah perjalanan cukup panjang yang berlalu sore hari tadi, Zara masih mengurung diri di dalam kamar. Tubuhnya masih terasa pegal-pegal akibat menyetir dalam jangka waktu yang cukup lama. Belum lagi seperti apa yang dilaluinya beberapa hari ini, tak hanya menguras tenaga, tapi juga hati dan jiwanya.
Zara tentu tak akan lupa saat di mana ada orang yang tak sengaja tau tentang kelemahannya. Pun dirinya, yang tak sengaja tau kisah hidup menyedihkan dari seseorang.
“Aku jadi teringat lagi padanya,” keluh Zara setelah dia meloloskan nafas kasar. Tubuhnya memang berada di rumah sekarang, tapi pikiran dan hati Zara sepertinya tertinggal di sana ... bersama Arkhan?
Omong-omong tentang lelaki itu, Zara benar-benar mengantarnya pulang ke rumah. Tapi Arkhan menolak saat mobil Zara hendak masuk lebih jauh ke perkampungan tempatnya tinggal. Dia bilang, rumahnya sudah tidak jauh dari dekat Masjid kampung tersebut. Karena Zara juga tak ingin memaksa, dia menuruti permintaan Arkhan tanpa protes. Zara tak mau ambil pusing perihal Arkhan yang tak mau diantar sampai rumahnya, setidaknya dia bersyukur karena mereka sudah sempat bertukar nomor ponsel di dalam perjalanan liburan itu.
Perihal kisah hidup Arkhan yang Zara ketahui, sepertinya dia cukup tertarik dengan satu hal. Memberikan Arkhan sebuah hadiah yang tidak akan pernah laki-laki itu lupakan. Sebuah hadiah kalau dia akan dicintai oleh banyak orang melalui ketangguhannya dalam menjalani hidup.