SATARUPA

Nawasena Afati
Chapter #33

31 : Luka Sosok Anak Pertama

“Sejatinya, tidak ada orang yang benar-benar kuat. Yang ada, hanyalah orang yang berpura-pura untuk kuat.”

***

“Ma, Pa! Boleh Kakak ngobrol?”

Sebuah seruan dari Zara itu seketika saja membuat kedua orangtuanya menolehkan kepala. Di undakan anak tangga itu, sosok anak sulung dalam keluarga terlihat menahan senyum di balik bibirnya.

Dia berjalan dengan binar di mata yang tak redup. Menandakan kalau keadaan hatinya mungkin sedang baik saat ini.

Dua sosok orang tua yang terduduk di kursi, menoleh saat si sulung bersuara. Dahi mereka berkerut dalam, cukup penasaran dengan hal apa yang akan dibicarakan di sini. Ah, apa si sulung itu akan membicarakan calon jodohnya?

“Ngobrol apaan, Kak?” tanya sang ibu.

“Jangan-jangan ngobrolin calon suami ya?” tuduh sang ibu selanjutnya. Binar di mata wanita paruh baya itu terlihat terang jikalau apa yang dia pikirkan benar-benar terjadi.

Meski sempat membuat Zara memutar bola matanya jengah, karena lagi dan lagi sang ibu seperti orang yang kebelet menikahkan puterinya. Tapi pada akhirnya Zara menggelengkan kepala atas pertanyaan itu.

Zara tau, orang tua mana yang tak khawatir saat anak gadisnya yang sudah berusia 26 tahun ini tak kunjung memperkenalkan seorang lelaki pada mereka. Tapi percayalah, saat ini Zara sedang memperbaiki itu semua. Siapa tau, setelah dia menyelesaikan semua masalah dengan memutus mata rantai trauma, Allah tiba-tiba mendekatinya dengan seseorang yang menjadi jodoh Zara sejak dulu. Kemungkinan-kemungkinan seperti itu tentu bisa saja terjadi, bukan?

Tapi terlepas dari itu semua, Zara yakin sekali kalau Allah telah menyiapkan hadiah terindah untuknya. Ia akan dipertemukan dengan sosok lelaki yang bukan hanya mencintainya setulus hati, tapi juga mencintai Allah sebagai Rabb-Nya melebihi apapun. Karena cinta sejati, adalah milik Tuhan Yang Maha Esa.

“Maaf, tapi emang bukan itu yang mau Zara obrolin, Ma. Yang terpenting, Mama doa aja dulu jangan berhenti. Insyaa Allah menantu yang Mama harapkan kedatangannya itu bisa segera datang,” balas Zara terdengar lebih santai dibandingkan sebelumnya kalau bahas soal menikah.

Meski agak kecewa dengan jawaban dari si sulung tersebut, tapi dua orang tua itu masih penasaran dengan obrolan yang sepertinya serius itu.

“Kalau bukan ngobrolin calon, terus ngobrol apa?” Kali ini, sang ayah yang bertanya. Dua alis dengan bulu-bulu tebal itu nampak saling mengerut ketika sang empu bertanya.

Melihat respon penasaran dari kedua orangtuanya, Zara kemudian mengambil duduk di kursi yang masih kosong. Dia mendudukkan bokongnya di sana sebelum melancarkan aksinya untuk jujur tentang keadaannya ini.

Lihat selengkapnya