SATARUPA

Nawasena Afati
Chapter #34

32 : Pelukan untuk Si Sulung

“Karena yang kuat sekalipun, butuh pelukan dan dukungan.”

***

“Iya, Pa?”

Zara bergerak untuk bersimpuh di bawah kaki sang ayah. Dia berjongkok, dan meraih tangan pria paruh baya yang sekarang sudah tidak muda lagi itu.

Ditatapnya dari bawah wajah pria paruh baya dengan model rambut two block itu dengan tatapan yang lembut. Zara sadar, sejak dulu dialah yang paling dekat dengan sang ayah. Untuk itu ialah yang paling merasakan terluka saat sang ayah dulu ketahuan berselingkuh.

Tangan pria bernama Deri Prawira itu untuk menyentuh kepala sang puteri. Kini Zara memang sedang tak mengenakan hijabnya saat di rumah.

Tangan itu menyentuh rambut hitam sebahu milik Zara, mengusapnya pelan, kemudian melontarkan kata, “Maafkan Papa, Sayang. Maaf karena sudah melukai hatimu. Maaf karena sudah membuat kamu jadi begini. Sungguh, Papa nggak bermaksud untuk melukai hati puteri kecil Papa. Kejadian itu, murni kesalahan Papa yang bodoh sekali. Papa membuat hati dua perempuan yang Papa cintai retak dan tak utuh lagi. Maafkan Papa, Zara.”

Cahaya lampu hias masih menerangi ruang tengah itu, di saat seorang pria paruh baya duduk saling berhadapan dengan puterinya. Dia menatap puterinya itu dengan wajah yang basah oleh air mata. Mendadak, ingatannya melayang ke masa lalu, saat ia dengan bodohnya menanggapi gejolak hati untuk menyukai wanita lain selain istrinya hingga mengabaikan keadaan hati perempuan dalam keluarganya.

“Papa akui Papa telah salah melakukan itu. Papa khilaf, Nak. Papa buta mata dan pikiran saat itu, hingga tidak memikirkan kalian setelah tau hal ini. Seharusnya Papa sadar, kalau serapih apapun Papa menyembunyikan sesuatu—Allah pasti mengungkapkan semuanya. Sampai pada akhirnya, puteri Papa ini yang menjadi korban dari kebodohan Papa,” ujar sang ayah dengan tangan sesekali menyeka air matanya yang meluruh ke wajah.

Tak jauh berbeda keadaannya dengan sang ayah, wanita paruh baya di sebelahnya pun berkali-kali terisak akibat tangisan yang meluruh itu. Sejujurnya, Zara tak pernah suka melihat kedua orangtuanya menangis apalagi karena sebuah luka. Tapi karena malam ini Zara ingin sekali memutus mata rantai traumanya, mau tak mau dia harus melihat pemandangan seperti ini.

“Pa ...,” Zara menunduk sebentar untuk mengecup punggung tangan ayahnya itu. “aku udah maafin Papa dari dulu. Dari Papa minta maaf saat itu. Aku sebenarnya mau melupakan masalah ini kalau aja nggak ada efek yang terjadi. Tapi aku janji setelah malam ini, kita nggak akan lagi bahas masa lalu menyakitkan itu. Aku yakin setelah hari ini, semua luka itu resmi pergi dari hidup kita.”

“Aku hanya mau jadikan malam ini sebagai malam di mana kita saling terbuka dan memaafkan,” imbuh Zara yang seketika saja diangguki oleh kedua orangtuanya itu.

“Papa akan berusaha untuk terus memperbaiki diri, Zara. Papa sama sekali tidak ingin kehilangan kalian, apalagi karena kebodohan Papa sendiri.” Sang ayah masih meneruskan kalimatnya.

Lihat selengkapnya