“Sebuah keluarga yang bahagia itu diciptakan oleh kita sendiri, bukan? Maka mari kita usahakan keluarga cemara itu.”
***
Pusat perbelanjaan itu laksana lautan manusia di hari Minggu seperti ini. Suara riuh rendah memenuhi setiap dari gelak tawa anak-anak hingga obrolan santai para pengunjung. Lampu-lampu neon berkelap-kelip, yang memantulkan cahaya warna-warni di wajah-wajah ceria. Pun dengan aoma makanan lezat dari berbagai gerai yang tentu saja menggugah selera. Tak hanya itu, toko-toko juga dipadati pengunjung yang sibuk memilih-milih barang incaran.
Di antara hiruk-pikuk keramaian pusat perbelanjaan itu di hari weekend seperti ini, satu keluarga kecil berjalan beriringan menuju pusat permainan di sana.
Canda tawa mereka begitu riang, menandakan kalau mereka semua sedang dalam suasana hati yang teramat baik. Mungkin terlihat konyol bagi sebagian orang, atau ... orang akan berpikiran jika satu keluarga itu adalah orang desa yang baru masuk ke pusat perbelanjaan. Padahal bukan seperti itu. Mereka tertawa karena memang merasakan kebahagiaan kini menyelimuti hati mereka.
Pasca banyak duri dalam hubungan keluarga itu, kebahagiaan seperti ini sudah jarang terlihat. Bahkan sepertinya, baru kali ini lagi pergi hangout bersama seluruh anggota keluarga. Biasanya, mereka tak punya cukup waktu untuk bisa pergi bersama seperti ini.
“Pokoknya boleh main sepuasnya di time zone.” Itu perkataan dari Deri Prawira—ayah Zara seulas senyum mengiringi.
Ketiga anaknya yang sudah besar nampak antusias mendengar hal itu. Rasanya seperti mendapatkan jackpot ketika dibebaskan bermain sepuasnya.
“Lets go!” Yang bersuara barusan adalah Zara. Dia memimpin para adik-adiknya untuk masuk ke arena permainan.
Dua adik laki-lakinya sudah memilih permainan tembak-tembakan di salah satu mesin permainan. Melihat itu, Zara tersenyum kecil. Diam-diam, dia meresapi seluruh hal yang terjadi pasca malam di mana ia membuka diri pada orang tuanya.
Omong-omong, malam itu sudah berlalu 2 hari. Dan setelah hari itu, Zara merasa ada perubahan dari kedua orangtuanya. Mereka berdua selalu kompak bertanya baik pada Zara ataupun anak-anaknya yang lain tentang keseharian yang dilakukan. Seolah mereka benar-benar memastikan kalau anak-anaknya dalam keadaan mental yang sehat.
“Kalian tunggu dulu ya! Kakak beli koinnya dulu,” ucap Zara lantas melipir ke arah kasir. Dia hendak membeli koin untuk bermain dengan mesin-mesin itu.
Perempuan yang saat ini memakai dress vintage dengan perpaduan warna latte itu mengeluarkan kartu ATM untuk membeli. Meski di awal sang ayah bilang mereka boleh bermain sepuasnya, tapi Zara di sini yang akan bertanggungjawab mengeluarkan uang untuk bermain. Biar nanti urusan makan dan yang lain, baru akan Zara lemparkan pada ayahnya itu.