SEONGGOK kayu jati yang telah diukir ala Eropa di sudut ruang tengah berdenting bising. Kedua jarum jam menunjuk pada angka dua belas. Waktu yang tepat bagi seluruh manusia untuk melelapkan mata setelah sehari penuh mengeluarkan daya.
Dengan sisa tenaga, kuraih mug putih di hadapanku, menghirup aromanya dalam-dalam sebelum akhirnya kutenggak hingga tandas. Orang pasti akan mengataiku gila jika melihat ada empat mug kosong bernoda hitam ditambah satu mug lagi yang masih berisi kopi hitam tanpa gula. Sepahit apa pun rasa kopi hitam khas Nusantara takkan sebanding dengan pahitnya lika-liku kehidupan yang telah kualami.
Seperti sebuah kaset rusak yang selalu mengulang adegan yang sama, memoriku terus terpatri pada kejadian paling memilukan yang terjadi belakangan ini. Kenangan tentang seorang wanita berdarah Jawa tulen, dengan kain panjang yang menjuntai menutupi bagian kepalanya. Matanya teduh, selalu menyiarkan binar ceria meski telah seharian bekerja. Hidungnya tak begitu mancung, mungil seperti hidung kucing persia. Dua tahi lalat yang bertengger manja di atas bibir tipisnya, menjadi saksi bahwa ia banyak bicara.
Cerewet, begitu gerutuku di dalam hati. Ia selalu mengomel ketika aku tidak meletakkan kaus kaki pada pangkal sepatu, menggerutu ketika aku menarik kemeja dari almari hingga seluruh isinya berantakan, serta tak pernah berhenti mengoceh ketika ia merasa tak dipedulikan karena aku menatap layar laptop hingga pagi menjelang.
Tanpa sadar, setetes air meluncur dari sudut mataku. Aku menoleh ke kanan, memandangi wajahnya yang ada di sampingku. Kini sosoknya terkungkung bingkai kayu berlapis kaca. Kedua bibirnya melengkung, seolah tak ada satu beban pun dalam perjalanan hidupnya.
Memoriku kembali berputar pada kejadian satu bulan yang lalu.
Saat itu, jantungku hampir saja berhenti berdetak mendengar isakannya dari ujung sana. Dengan suara serak ia memintaku menjemputnya di rumah sakit. Beruntung jam sudah menunjukkan waktu pulang kerja. Aku segera menyambar kunci motor, membelah padatnya jalan raya kala waktu menjelang senja.
Tiga puluh menit berselang. Hatiku teriris menatap mata dan hidungnya yang memerah. Ia terduduk di lobi rumah sakit. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Kutuntun ia menuju parkiran, tanpa bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Bukan karena aku tak peduli, tetapi tanpa diceritakan pun aku telah menduga apa yang membuatnya seperti ini.
Di antara deru motor yang beradu kencang, di antara suara klakson bemo yang saling bersahutan, di antara ingar bingar senja di pusat kota, hanya suara isak tangis tertahan lah yang berhasil menembus gendang telingaku. Indra pendengarku seolah menulikan diri dari suara semesta, hanya fokus terhadap suara yang keluar dari bibir seseorang di belakangku.
Aku masih diam membiarrkan seluruh air matanya tumpah membasahi punggungku yang hanya berlapis kemeja karena jaketku sudah kupakaikan pada tubuh mungilnya. Ia memelukku erat seolah ini adalah hari terakhir bagi kami berdua.
Sampai di rumah ia segera membuka pintu, lalu mengucapkan salam sebelum akhirnya berlari ke dalam. Alih-alih ke kamar utama, ia justru masuk ke satu ruangan yang sudah kami rancang khusus sebelumnya. “Abraham Junior’s Room”, begitu tulisan yang tertera di daun pintu bercat putih gading.
Tangisnya langsung meledak sesaat setelah kudengar suara pintu yang ditutup secara kasar. Bunyi barang-barang yang membentur lantai menegaskan kepiluan yang sedang kami alami. Ia menjerit sekeras yang ia mampu.