DENGAN membentuk anak panah raksasa, sekawanan blekok membelah langit layung terbang ke timur. Burung-burung berbulu seputih kapas itu seolah tengah menyongsong purnama bergambar perempuan yang tengah duduk bermenung sendirian. Purnama yang mengisyaratkan kepada orang-orang Toyamas, bahwa senjakala akan segera menapak pada pantai malam.
Di mata Jarana yang tengah duduk nglaras[1] bersama Jureni di depan pendapa padepokan, gambar perempuan pada purnama itu mengingatkan tentang Putri Pembayun. Mantan tuan putrinya yang semula selalu menghabiskan waktunya untuk ngelamun sendirian di tamansari Mataram, seusai Panembahan Senapati menceraikan cintanya dengan Ki Ageng Mangir melalui cara tidak terpuji. Mantan tuan putrinya yang seolah raib hingga tak terlacak jejaknya, sesudah enam tahun silam menyerahkan bayi Bagus Badranaya pada Ki Ageng Karanglo. Pemilik padepokan dari Desa Karangtalo yang kini menetap di Desa Toyamas. Pemilik padepokan Toyamas yang kini menjadi tumpangan hidupnya.
Lain Jarana, lain Jureni. Perempuan mantan ledhek[2] tayub dari Desa Kayiyan itu lebih tertarik menyaksikan anak-anak yang tengah bermain jaranan di pelataran. Dengan menunggang kuda-kudaan dari blungkang, anak-anak itu berjalan membentuk lingkaran sembari menari dan menyanyikan lagu Jaranan. Mereka berhandai-handai sebagai Ndara Nggung yang tengah menunggang kuda kawung dengan dikawal sekawanan pemuda gunung. Mereka berhandai-handai sebagai Ndara Bei yang tengah menunggang kuda teji dengan diiringi para mantri.
Menyaksikan tingkah polah anak-anak yang bermain jaranan di pelataran itu, Jureni terpingkal-pingkal hingga air mata membasahi sudut bola matanya. Terlebih saat mereka menyaksikan Bagus Badranaya yang menari sambil berjalan di belakang anak-anak itu tanpa kuda mainan. Gerak tarian seorang anak yang memiliki sepasang tangan gendhewa pinenthang[3]. Tidak hanya tampak naïf dan lucu bagi Jureni, namun pula memberikan kesan kalau tarian anak itu sangat luwes.
“Tarian Gus Badra sungguh memikat hati, Ramane!” Jureni yang merupakan orang kepercayaan Ki Ageng Karanglo untuk mengasuh Bagus Badranaya bersama Jarana sejak bayi itu membuka pembicaraan. “Kalau melihat gerak tariannya, Gus Badra memiliki kelebihan dari anak-anak lainnya. Keluwesannya melampaui keluwesan Rinten anak kita. Anak bekas seorang ledhek tayub.”
“Biyunge!” Jarana melontarkan kata-kata setengah berbisik dari mulutnya yang berbau tembakau. “Kalau keluwesan Gus Badra melebihi keluwesan Rinten, itu wajar. Apakah kamu lupa? Gus Badra itu putra Gusti Ayu Pembayun. Ledhek kondang dari Mataram yang kemolekan parasnya dapat meruntuhkan hati setiap lelaki. Kesintalan tubuhnya mampu meluluhlantakkan hati Ki Ageng Mangir Wanabaya? Trah Majapahit yang sakti mandraguna.”
“Hampir aku lupa, kalau Gus Badra adalah putra Gusti Ayu Pembayun. Padahal aku tak pernah makan brutu[4].”
“Lebih baik kamu lupa, kalau Gus Badra itu putra Gusti Ayu Pembayun.”
“Apa maksud, Ramane?”
“Kalau tak lupa, mulutmu nanti bisa nerocos ke sana ke mari. Pada tetangga kanan-kiri. Mengatakan kalau Gus Badra bukan anak kita, tapi putra Gusti Ayu Pembayun. Itu sangat berbahaya!”
“Berbahaya?” Jureni kemudian bertanya pada Jarana dengan nada lantang hingga anak-anak yang masih bermain jaranan itu menoleh serempak ke arah mereka. “Apanya yang berbahaya?”
“Apakah kamu sudah lupa dengan pesan Ki Ageng Karanglo, sewaktu beliau berpesan pada kita untuk merahasiakan kalau Gus Badra adalah putra Gusti Ayu Pembayun?”
“Sebentar…! Sebentar…! Aku ingat-ingatnya dulu pesan Ki Ageng.” Jureni yang tengah memikirkan tentang pesan Ki Ageng Karanglo itu tampak samar-samar mengernyitkan dahinya di bawah cahaya purnama. Selang beberapa hembusan napas, Jureni bicara sembari mengangguk-anggukkan kepala. “Ya…, ya…, ya…. Aku ingat sekarang apa yang dipesankan oleh Ki Ageng pada kita.”
“Coba katakan apa pesan beliau!”
“Pesan beliau: ‘Jarana dan kamu Jureni, rahasiakan kalau Thole Badra ini adalah putra Gusti Ayu Pembayun. Bila kalian dapat merahasiakannya, aku akan kasih kalian hadiah yang setimpal.’ Bukankah begitu pesan Ki Ageng pada kita?”
“Bukan pesan itu yang aku maksudkan!”
“Lantas…. Pesan yang mana lagi?”
“Pesan yang menyatakan kalau kita tidak dapat melaksanakan perintah Ki Ageng Karanglo, kepala kita yang akan menjadi taruhannya. Apakah kamu masih ingat dengan ancaman Ki Ageng itu?”
“Ehm….” Jureni sejenak berpikir, sebelum berteriak dengan sekeras petir di langit terang. “Ya! Aku ingat sekarang.”
“Ingat, ya ingat. Tapi, jangan pakai teriak segala! Lihat! Anak-anak itu sampai menoleh ke arah kita.”
“Ya, Ramane. Maaf! Maaf! Maaf!”
“Maaf! Maaf! Tak perlu minta maaf! Yang penting kamu dapat menyimpan rahasia besar kalau Gus Badra adalah putra Gusti Ayu Pembayun. Dengan demikian, kepala kita tak akan lepas dari gembung[5]-nya.”
Sebelum Jureni melontarkan kata-kata dari setangkup bibir yang memerah lantaran warna gambir dari kinang yang dikunyah-kunyah, Bagus Badranaya dan Rinten telah berdiri di depan mereka. Tak lama seusai anak-anak yang bermain di halaman itu bubaran untuk pulang ke rumah masing-masing; Jarana, Jureni, Bagus Badranaya, dan Rinten memasuki padepokan Karanglo. Lantaran kelelahan bermain, Bagus Badranaya dan Rinten segera membaringkan tubuhnya di amben kayu beralas tikar mendong sesudah mencuci tangan dan kaki di sumur belakang rumah. Sementara Jarana dan Jureni yang belum kantuk masih menghabiskan malam purnama. Duduk di kursi kayu di ruangan ndalem jero yang biasanya digunakan untuk melaras malam oleh Ki Ageng Karanglo yang tengah pergi ke Desa Banaran. Desa yang berada tepat di sebelah barat Kotaraja Mataram. Dimana di desa yang dibelah oleh Sungai Konteng itu, arwah Ki Ageng Mangir Wanabaya dimakamkan.
Jureni memalingkan wajahnya ke arah Jarana yang menghela napas panjang dengan wajah tampak bercadarkan duka. Pandangan sepasang mata yang serupa bintang kembar dari lelaki paruh baya itu tampak berselimutkan awan tipis dan menerawang jauh hingga menembus dinding kayu. Ia seperti tengah memikirkan sesuatu yang tersimpan dari benak paling dasar.
“Ramane!” Jureni memecah keheningan suasana malam di ruangan ndalem jero yang terasa hampir membeku itu. “Sesungguhnya kamu ini tengah memikirkan apa? Sebagai istri yang bukan hanya sebagai kanca wingking[6], aku wajib meringankan beban di dalam pikiranmu itu. Apakah kamu tengah memikirkanku yang hanya dapat memberikanmu satu anak? Apakah persoalan rumah tangga kita yang sejak dulu hingga sekarang masih hidup dalam kekurangan?”
“Bukan itu yang sedang aku pikirkan.”
“Lantas?”
“Aku tengah memikirkan bagaimana nasib Gus Badra kelak, sesudah hidup tanpa seorang ayah dan jauh dari kasih sayang seorang ibu. Apakah ia akan hidup berbahagia sebagaimana layaknya anak-anak bangsawan? Anak-anak yang selalu hidup bergelimangan harta dan benda di dalam istana. Anak-anak yang di masa dewasanya pasti mendapatkan jabatan tinggi dari leluhurnya tanpa harus ditempuh dengan perjuangan. Dengan membanting-banting tulang. Dengan bermandikan keringat. Dengan berbasah-basah darah.”
“Ramane! Ramane!” Jureni cengengesan[7]. “Aku sekarang tahu, kalau Ramane tidak pernah menyimak saat Ki Ageng Karanglo tengah memberikan wejangan. Bukankah Ki Ageng selalu bilang, kalau kebahagian di dunia ini hanya permainan rasa. Sedangkan nasib Gus Badra tidak akan ditentukan oleh leluhurnya, melainkan oleh dirinya sendiri. Meskipun orang-orang di sekitarnya memiliki pengaruh di dalam menentukan nasib itu. Bukankah selain drajat[8], jodho[9], dan pati[10]; setiap manusia dapat mengubah garis nasib yang terlukis di tapak tangannya sendiri? Karenanya, Ramane tak perlu menggelisahkan nasib Gus Badra! Sebagaimana Ramane tak pernah menggelisahkan nasibmu sendiri.”
“Kali ini, kata-katamu dapat aku rasakan kedalaman maknanya, Biyunge. Kamu benar-benar hebat!”
“Apa?” Jureni kembali cengengesan. “Ramane…. Yang hebat itu bukan aku si burung beo ini. Namun, Ki Ageng Karanglo yang selalu mengisi celah-celah waktu kesibukannya dengan merenungkan tentang apa sesungguhnya makna di balik kehidupan manusia itu.”
Sebelum Jarana menyela perkataan Jureni, sepasang telinganya menangkap ketukan pintu kayu pendapa yang digrendel dari dalam. Tanpa ragu-ragu, lelaki itu beranjak dari kursi kayu. Meninggalkan Jureni yang masih duduk di salah satu kursi di ruangan ndalem jero. Melangkahkan kaki menuju pendapa untuk membuka pintu. “Heh, Maruta! Ada apa? Kenapa kamu tampak sangat cemas?”
“Paman Jarana, ijinkan aku masuk ke pendapa! Aku ingin menghadap Ki Ageng Karanglo. Menyampaikan kabar yang sangat penting. Penting sekali!”
“Kalau kamu ingin menghadap Ki Ageng, beliau tak ada di padepokan. Sejak matahari setinggi tombak di langit timur, beliau pergi ke Desa Banaran. Sebuah desa di sebelah barat Kotaraja Mataram.”
“Ehm….” Mahisa Maruta yang merupakan salah seorang murid Ki Ageng Karanglo itu tampak kecewa. “Tak apalah, Paman! Sekalipun aku tak dapat menghadap guru, namun kabar penting ini perlu aku sampaikan pada Paman Jarana. Ini demi keselamatan Gus Badra dari dua orang yang telah aku curigai sebagai telik sandi[11] Mataram.”
“Baiklah. Masuklah!”
Mahisa Maruta memasuki ruangan pendapa padepokan yang berlantai tanah. Sementara Jarana menutup pintu pendapa itu dari dalam. Keduanya melangkah ke arah empat kursi yang masing-masing menghadap setiap sisi meja di tengah ruangan pendapa yang diterangi dengan cahaya lampu gantung. Mereka duduk saling berhadapan wajah yang tampak tegang.
Suasana di ruangan pendapa sejenak hening. Tak ada suara yang terucapkan dari mulut mereka, selain derik jengkerik dan nyanyian serangga yang tertangkap gendang telinga. Namun tak seberapa lama, keheningan itu pecah. Manakala Jarana mendehem dan membuka pembicaraan dengan setengah berbisik. “Maruta…. Kabar penting apa yang ingin kamu sampaikan padaku? Katakan saja!”
“Paman Jarana!” Mahisa Maruta menghela napas rongga dadanya yang terasa penuh. “Tadi pagi sewaktu aku menggarap sawah di tepian Desa Toyamas, kedua mataku melihat dua lelaki asing memasuki desa kita ini. Lantaran curiga, aku beserta Kakang Mahisa Geni dan Kakang Mahisa Bumi memerintahkan Adhi Mahisa Tirta untuk mengawasi gerak-gerik kedua lelaki itu.”
“Lantas?” Jarana menyodorkan wajah hingga mendekati wajah Mahisa Tirta. “Lantas bagaimana dengan kedua orang itu?”