FAJAR membuka layar kehidupan baru lebar-lebar. Matahari yang menyembul dari balik bentangan bukit timur serupa piringan tembaga yang memancarkan cahaya ke permukaan bumi. Langit bagaikan atap kubah warna biru yang tak tergores awan. Burung-burung berkicauan marak di dedahan pepohonan dengan daun-daun yang merimbun hijau. Sekawanan capung dan kekupu dengan sayap-sayap mempesona terbang bebas di awang. Rerumput teki yang tumbuh liar di ara-ara itu masih basah embun di pertengahan musim kemarau. Betapa layak pagi itu untuk menghirup udara segar buat melonggarkan paru-paru kehidupan.
Betapa kontras dengan suasana damai yang dilukiskan dengan pagi itu. Sebelum matahari menyembul dari balik bentangan bukit timur, Ara-Ara Karang Curi telah dibangunkan dengan pertarungan hidup mati antara Mahisa Geni dengan salah seorang lelaki asing itu. Antara Mahisa Bumi dengan lelaki asing lainnya. Mereka saling adu kelihaian dalam menggunakan jurus-jurus laganya.
Matahari hampir setinggi tombak. Namun pertarungan Mahisa Geni dan Mahisa Bumi dengan kedua lelaki asing yang dicurigai sebagai telik sandi Mataram itu belum menunjukkan tanda-tanda keberakhirannya. Mereka saling serang dengan pukulan-pukulan mematikan, dan masih lincah berkelit ke kiri dan ke kanan serupa burung branjangan. Namun saat hari jatuh pada ambang bedhug[1], kedua murid Ki Ageng Karanglo itu mulai tampak kerepotan untuk menangkis serangan-serangan mematikan dari lawannya.
Menyadari kalau kedua lelaki asing itu sudah mulai berada di atas angin, Mahisa Geni dan Mahisa Bumi melentingkan tubuhnya jauh ke belakang. Seusai saling melemparkan pandang sejenak, mereka mengerahkan ajian Lebur Saketi yang diajarkan oleh Ki Ageng Karanglo. Mereka dengan serempak melafalkan mantram sakti dengan mulut berkomat-kamit, “Niyat ingsun, amatak ajiku Lebur Saketi. Ingsun tamaake gunung, jebluk. Ingsun tamake segara, asat. Lebur sira kaya lebu kang katiyupe samirana. Sirna sira dadiya lendhut blegada. Lebur tan bisa jinumput. Sirna ing mula-malinira. [2]”
Dengan kedua telapak tangan yang didorong cepat ke arah dada lelaki asing itu, Mahisa Geni dan Mahisa Bumi menghentakkan ajian Lebur Saketi sembari berteriak lantang, “Bah!” Semula kedua murid Ki Ageng Karanglo itu mengira, bila lawan yang mereka hadapi akan hancur serupa remahan bubuk bambu. Beberapa saat kemudian, mereka heran bukan kepalang. Manakala kedua lelaki asing yang memiliki ajian Lembu Sekilan itu masih berdiri dengan tegap sembari tersenyum masam.
“Hei, Anak muda Desa Toyamas!” Salah seorang lelaki asing itu sesumbar[3] dengan nada dingin. “Bila kalian masih punya aji jaya kawijayan yang lain, kerahkan dan sarangkan ke tubuh kami! Kami tak akan berlari dari medan pertarungan. Namun bila kalian yang telah menyeret kami dari rumah Nyi Wisanti hingga Ara-Ara Karang Curi dan menantang kami untuk adu kesaktian sudah merasa kalah, sebaiknya kalian pulang saja. Kami tak akan menyakiti kalian. Manusia-manusia tak berguna yang keberadaannya lebih hina dari mayat di dalam lubang kubur.”
“Brengsek! Benar-benar Brengsek!” Mahisa Geni yang tak lagi memiliki ajian sakti lainnya itu masih berlagak jumawa. “Ketauilah, hei bangsat! Aku ini bukan banci. Aku juga bukan mayat. Aku ini seorang lelaki tulen yang masih mampu menghirup udara kehidupan. Namun, aku lebih memilih mati di medan pertarungan, ketimbang pulang dengan menanggung rasa malu tak terperi. Maka, bunuhlah aku! Ayo! Jangan sungkan-sungkan!”
“He…, he…, he….” Lelaki asing itu kembali tersenyum masam. “Aku ini bukan seorang tukang jagal manusia. Aku juga bukan seorang pembunuh orang-orang yang sudah tak berdaya. Tuhan akan murka kepadaku. Bila aku membunuh orang-orang yang tak berguna seperti kalian.”
Mendapatkan penghinaan lelaki asing itu, wajah Mahisa Geni memerah bara. Tanpa disertai Mahisa Bumi, Mahisa Geni melentingkan tubuhnya jauh ke depan untuk menyarangkan pukulan ajian Lebur Saketi. Namun sebelum pukulan itu menyentuh sasarannya, Mahisa Geni dihempaskan oleh pukulan salah seorang lelaki asing itu hingga terlempar jauh ke belakang. Tubuh Mahisa Geni terkapar di atas tanah. Mengerang sembari memegangi dadanya yang membekas hitam selebar piring. Terasa nyeri dan panas seperti terbakar.
Menyaksikan Mahisa Geni dan Mahisa Bumi yang tak lagi mampu menandingi kesaktian dua lelaki asing itu, Mahisa Maruta yang semula hanya menyaksikan pertarungan mereka dari kejauhan berniat untuk mengerahkan ajian Sepi Angin. Hanya dengan dua kali langkah, Mahisa Maruta telah berdiri tegar di hadapan dua lelaki asing yang dicurigai sebagai telik sandi Mataram.
“Hei orang-orang asing, jangan lekas jumawa!” Mahisa Maruta membusungkan dadanya di hadapan dua lelaki asing itu sembari menuding-nudingkan telunjuknya ke arah wajah mereka. “Bila kalian mampu menghadapi ajian Sepi Angin, aku akan berguru kepada kalian.”
“Kerahkan ajianmu, anak muda Toyamas!” pinta salah seorang lelaki asing. “Bila kami yang terlempar dari medan pertempuran, maka kami yang seharusnya berguru kepadamu.”
“Babuh! Babuh!” Mahisa Maruta hening untuk menyatukan cipta, rasa, dan karsa. Sesudah ketiga anasir dari alam batinnya itu disatukan, Mahisa Maruta mengerahkan ajian Sepi Angin sembari melafalkan mantram sakti yang telah dihapal di luar kepala, “Ingsun amatak ajiku si Sepi Angin. Angin saka lor. Angin saka kidul. Angin saka wetan. Angin saka kulon. Nyawijia sajroning badan puniki. Dumadya kekuatane Sang Hyang Bathara Bayu. Tumempuh marang anggane mungsuh. Kabur saka sangarep ingsun. Musna tan bisa dinulu.[4]”
Dalam sekejap, muncullah angin puting beliung yang berpusar seperti gasing raksasa dari dalam tubuh Mahisa Maruta. Angin yang kemudian berpusar sangat dahsyat itu memilin-milin tubuh kedua lelaki asing. Namun, sungguh di luar dugaan Mahisa Maruta. Seusai angin puting beliung itu lenyap dari pandangan, kedua lelaki asing itu tak beringsut dari tempatnya semula. Mereka masih seperkasa batu karang di di tengah lautan yang tak mempan oleh gempuran gelombang dan badai.
Demikian lama, Mahisa Maruta berdiri seperti patung garnit. Setangkup bibirnya yang membiru hitam serasa membeku tak mampu melontarkan sepatah kata. Di dalam hati, Mahisa Maruta tak percaya kalau kedua lelaki asing itu memiliki kesaktian yang tak tertandingi. Mahisa Maruta berpikir, kalau kedua lawan yang tengah dihadapinya itu bukan manusia lumrah. Mereka seperti sepasang manusia setengah dewa yang kebal dari segala pukulan, senjata, dan aji jaya kawijayan[5]. Mahisa Maruta semakin yakin, bila kedua lawannya itu adalah telik sandi Mataram yang menyusup di Desa Toyamas.
“Hei, anak pemuda Toyamas!” Salah seorang lelaki asing itu memecah suasana hening di medan pertarungan. “Kenapa kamu seperti patung yang tak berguna? Kalau kamu masih memiliki ajian pamungkas, kerahkan segera untuk mengalahkanku! Atau tinggalkan medan pertarungan sebelum kesabaranku habis! Kalau tidak, terpaksa aku harus menyingkirkanmu dari Ara-Ara Karang Curi ini. Aku semakin muak melihat tampangmu.”
Melihat gelagat kalau kedua lelaki asing itu akan memukulkan ajian pamungkas pada Mahisa Maruta, Mahisa Tirta yang semula hanya mengawasi pertarungan mereka dari kejauhan segera mengambil langkah seribu dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Setiba di hadapan kedua lelaki asing itu, Mahisa Maruta yang mengetahui rahasia kelemahan aji Lembu Sekilan itu sontak duduk bersimpuh. Memberikan sembah sambil melafalkan mantram sakti, “Tan ana kang ingsun sembah kejaba Allah tangala. Sembah ingsun mugya dadi srana leburing aji Lembu Sekilan. Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti. Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti.” [6]
Mantram usai dilafalkan oleh Mahisa Tirta. Tanpa diduga oleh kedua lelaki asing itu, Mahisa Tirta yang semula duduk bersimpuh dengan wajah setengah tertunduk ke bumi sontak menggerakkan cepat tubuhnya. Dengan kesaktian yang dimiliki, Mahisa Tirta menyarangkan pukulan ke paha kedua lelaki asing itu. Mahisa Geni, Mahisa Bumi, dan Mahisa Maruta terperangah saat menyaksikan kesaktian Mahisa Tirta yang dapat mengaparkan kedua lelaki asing itu di tanah.
“Hei, anak muda Toyamas!” Salah seorang dari lelaki asing yang merintih kesakitan sembari memegang kedua pahanya itu mencoba bangkit dari kejatuhan. “Aku mengaku kalah padamu. Karenanya bila kamu ingin membunuhku, aku tak akan melawan. Bunuhlah aku!”
Mendengar kata-kata dari salah seorang lelaki asing itu; Mahisa Geni, Mahisa Bumi, dan Mahisa Maruta yang mendapatkan perintah Jarana dari kejauhan untuk menghabisi mereka segera bertindak. Namun sebelum ketiga murid Ki Ageng Karanglo itu mendekati kedua lelaki asing, terdengar suara lantang hingga menggema ke seluruh penjuru Ara-Ara Karang Curi, “Tunggu!”
Melihat kemunculan Ki Ageng Karanglo yang baru pulang dari Desa Banaran; Mahisa Geni, Mahisa Bumi, Mahisa Maruta, Mahisa Tirta, dan Jarana yang telah sampai di tempat itu hanya terdiam. Tak lama kemudian, mereka berjalan dengan menundukkan kepala ke arah Ki Ageng Karanglo. Bersimpuh dan menghaturkan sembah bakti.
“Hei…. Kenapa kalian ingin membunuh kedua orang yang sudah tak berdaya ini?” tanya Ki Ageng Karanglo pada murid-muridnya dan Jarana. “Apakah mereka ingin mencelakai kalian?”
“Ehm….” Mahisa Geni sejenak terdiam dengan wajah pucat setengah tertunduk. “Tidak, Guru.”
“Lantas…. Apa alasanmu ingin membunuh kedua orang ini?”
“Ampun, Guru! Karena mereka telah kami curigai sebagai telik sandi Mataram yang akan mencelakai Gus Badra. Dengan alasan itu, kami ingin menghabisi sepak terjang mereka.”
“Apa kamu melihat, kalau kedua orang ini memiliki tanda-tanda sebagai telik sandi Mataram, Mahisa Geni?”
“Ya, Guru. Mereka berlogat wetanan. Mereka memiliki kesaktian yang sulit untuk ditandingi.”
“Kalau tanda-tanda itu yang mendasari kamu ingin menghabisi kedua orang ini, aku dapat menerima. Tapi….” Ki Ageng Karanglo sejenak terdiam sembari mengerlingkan pandangannya ke arah dua lelaki asing itu. “Ketahuilah, Mahisa Geni! Mereka ini bukan telik sandi Mataram. Mereka adalah murid-murid mendiang Ki Ageng Mangir Wanabaya. Mereka sengaja aku minta datang ke Desa Karanglo untuk turut menjaga keselamatan Thole Badra.”
“Benarkah, Guru?”
“Kalau kata-kataku hanya isapan jempol, jangan panggil aku ‘Guru’!”
“Ya, Guru. Aku percaya. Mahisa Geni mengangguk-anggukkan kepala seperti burung punguk. “Tapi, Guru. Kenapa mereka tak datang baik-baik di padepokan? Melainkan mereka datang ke rumah Nyi Wisanti?”
Ki Ageng Karanglo hanya tertawa renyah hingga gigi-giginya yang masih utuh itu tampak terlihat jelas di mata Mahisa Geni. “Kamu nanti akan tahu sendiri, Mahisa Geni. Sekarang yang penting; kamu dan kalian Mahisa Bumi, Mahisa Maruta, Mahisa Tirta, Jarana; bawalah Reksaraga dan Reksasukma ini ke padepokan! Biarlah aku sendiri yang akan mengobati luka mereka.”
Tanpa berpikir jauh; keempat murid Ki Ageng Karanglo dan Jarana memanggul Reksaraga dan Reksasukma yang masih merasakan sakit di dua pahanya itu menuju padepokan Karanglo. Sepeninggal Ki Ageng Karanglo beserta keempat muridnya, Jarana, Reksaraga, dan Reksasukma; Ara-Ara Karang Curi selengang kuburan tua yang serasa sekian lama tak terjamah kaki-kaki peziarah.
***
Di atas amben bambu panjang beralas tikar mendong di ndalem jero padepokan, Reksaraga dan Reksasukma tertidur lelap. Menjelang tengah malam, Reksaraga dan Reksasukma yang telah mendapatkan perawatan dari Ki Ageng Karanglo merasakan tubuhnya kembali pulih seperti sediakala. Mereka terbangun dan turun dari amben. Menuju pendapa padepokan. Dimana Mahisa Geni, Mahisa Bumi, Mahisa Maruta, dan Mahisa Tirta masih berbincang di atas hamparan tikar mendong sembari menikmati wedang jahe, singkong rebus, dan rokok klobot.
Menyaksikan Reksaraga dan Reksasukma muncul di pendapa padepokan; Mahisa Geni, Mahisa Bumi, Mahisa Maruta, dan terlebih Mahisa Tirta yang merasa bersalah besar lantaran telah melukai murid-murid mendiang Ki Ageng Mangir Wanabaya itu menyambut dengan penuh kehangatan. Hanya dalam beberapa saat, mereka sudah mulai tampak akrab sebagaimana keakraban dari orang-orang yang dipertemukan kembali dalam kehidupan masa kininya sesudah dipisahkan dalam kehidupan masa silamnya.
“Aku turut senang melihat Kakang Reksaraga dan Kakang Reksasukma telah sehat kembali.” Mahisa Tirta mengawali pembicaraan dengan wajah berseri-seri. “Sungguh, Kakang sekalian. Aku mohon maaf. Tak tahu bila Kakang berdua adalah murid-murid mendiang Ki Ageng Mangir.”
“Sudah! Sudahlah, Adhi Mahisa Tirta!” pinta Reksaraga dengan nada bersahabat. “Masalah itu tak perlu kita pikirkan lagi.”
“Kakang Reksaraga….” Mahisa Maruta menyela pembicaraan Reksaraga dengan Mahisa Tirta. “Sesungguhnya akulah yang salah. Lantaran peristiwa di Ara-Ara Karang Curi itu terjadi, sesudah aku mencurigai Kakang Raksaraga dan Kakang Reksasukma sebagai telik sandi Mataram yang kedatangannya di Desa Toyamas dapat mengancam keselamatan Gus Badra.”
“Adhi Mahisa Maruta!” Reksasukma yang semula hanya terdiam itu melibatkan diri dalam pembicaraan. “Yang lalu biarlah berlalu. Sekarang yang perlu kita perbincangkan bagaimana menjaga Angger Badra dari telik sandi Mataram. Bukankah masalah ini lebih penting untuk kita bicarakan ketimbang menyesali nasi yang telah menjadi bubur?”
“Benar katamu, Kakang Reksasukma.” Mahisa Geni bekata dengan nada tegas. “Tapi, Kakang. Sebelum kita membicarakan tentang bagaimana menjaga Gus Badra dari telik sandi Mataram, bolehkan aku bertanya padamu?”
“Soal apa, Adhi Mahisa Geni?”
“Kenapa kalau Kakang Reksasukma ingin menyelamatkan Gus Badra tidak datang ke padepokan Karanglo, melainkan ke rumah Nyi Wisanti. Itu yang membuatku curiga, kalau Kakang Reksasukma sebagai telik sandi Mataram.”
“Ketauilah, Adhi! Kedatanganku di rumah Nyi Wisanti, karena permintaan Ki Ageng Karanglo sendiri.”
“Aneh!” Mahisa Geni sejenak berpikir hingga tampak kentara garis-garis di keningnya. “Lantas apa alasan Guru Karanglo meminta Kakang Reksasukma untuk datang ke rumah Nyi Wisanti?”