SATU ATAP DUA CINTA: Kunikahi Ibu Tiriku Setelah Ayah Mati

Titik Balik Author
Chapter #2

2. BIARKAN AKU MATI

"JAGA UCAPANMU, DIRGANTARA!" teriak Angga Wijaya sangat keras.


"MAS TUNGGU!" Suara Anita tidak kalah kencang. Hal tersebut membuat Angga Wijaya tidak melanjutkan aksinya. Tangan kanannya, berada beberapa sentimeter dari wajah Gema.


"Cukup, Mas! Kamu jangan lakukan kekerasan lagi. Sabar, Mas," pinta Anita sambil mengelus bidang dada suaminya, sekaligus menariknya supaya menjauh dari Gema.


"Semakin kamu melawannya, maka dia akan semakin menjadi-jadi. Sebaiknya, kamu mengalah dan bersabar. Gema butuh waktu untuk menerima kenyataan ini," tambah Anita, berusaha menenangkan pria yang kini telah sah menjadi suaminya itu.


Pemuda tampan itu, menyeringai kecil. Tatapan yang dahulunya penuh cinta terhadap Anita, kini berubah menjadi tatapan yang dipenuhi dendam dan kekecewaan.


Bagaimana bisa, dalam hitungan menit, cinta yang telah dibangun selama dua tahun, berubah menjadi dendam?


"Mengapa kau hentikan dia, Anita? Seharusnya kau biarkan saja dia membunuhku! Dengan begitu, kalian akan hidup dengan tenang dan bahagia," katanya disertai tawa horor.


"Dirgantara!" seru Angga Wijaya kembali dan hendak langsung mencekik leher putranya itu.


"Sabar, Mas. Jangan terpancing emosi." Namun, Anita segera menahannya. Supaya tidak terjadi perkelahian lebih lanjut.


Gema kembali menyeringai. Dia menatap jijik, Anita yang begitu peduli terhadap dirinya.


Ya. Jika, ia peduli, lantas kenapa ia menikah dengan pria yang seharusnya menjadi ayah mertuanya?


"Cukup, Anita! Kamu tidak perlu bersikap manis seperti itu, di hadapanku. Aku tahu, kalau kamu menikah dengan ayahku, demi hartanya saja bukan? Mengaku saja kau, Anita. Wanita seperti dirimu ada banyak di luaran sana. Bahkan, berserakan di jalanan!"


Kini giliran Anita yang mendapat kata-kata hinaan dari, pemuda yang pikirannya sedang kacau itu.


"Gema! Jaga UCAPANMU!" teriak Angga Wijaya.


PLAAAKKKKKK!


Kembali, satu tamparan keras mendarat di wajah Gema. Kali ini, bukan Angga Wijaya yang melakukannya, melainkan Anita yang menampar.


Lagi-lagi, Gema tertawa. Arti tawa itu, bukanlah kebahagiaan, melainkan sebaliknya.


"Jaga bicaramu, Gema! Aku menikah dengan Mas Angga bukan karena harta, melainkan karena aku mencintai Mas Angga!"


Anita meninggikan suaranya. Matanya menatap nyalang pemuda yang sempat mengisi relung hatinya itu.


"Jangan pernah kamu bersikap kurang ajar lagi, kepada ayahmu! Aku mencintai Mas Angga, begitu juga dengan Mas Angga!"


Anita mengacungkan jari telunjuknya tepat di depan wajah Gema. Alih-alih, sadar dengan gertakan itu, Gema malah makin menjadi-jadi.


Dia menggenggam erat pergelangan tangan Anita, lalu menjatuhkan tatapan tajam yang pernah ia tunjukkan kepada seorang wanita.

Lihat selengkapnya