Satu Hari Bersama Mantan

Falcon Publishing
Chapter #1

Audrey Sebelum Akira

Hidup Audrey sudah diprogram oleh Ibu Diana, sang Mama. Perbanyak ilmu pengetahuan dan keterampilan sebagai bekal menghadapi masa depan. Demi masa depan Audrey yang cerah, begitu alasannya.

Dan selama bertahun-tahun pula Audrey hanya pasrah menjalaninya, sebosan apa pun. Ini yang terbaik, begitulah yang selalu dia tekankan pada dirinya sendiri. Bangun tidur, sarapan, pergi ke sekolah, pergi ke tempat kursus, kemudian pulang. Belajar, belajar, dan belajar. Selama ini, hanya itulah kehidupan Audrey.

Dan seperti hari-hari biasanya menjelang akhir jam sekolah, Audrey masih sibuk mencatat, sementara murid lainnya sudah asyik mengobrol dan bersenda gurau. Audrey memiliki impian dan target Audrey Sebelum Akira sendiri, dan dia tidak punya waktu untuk ikut bercanda bersama teman-temannya. Dia selalu juara kelas dan berencana lulus dengan nilai sangat memuaskan dan masuk universitas paling bagus di Indonesia, atau mungkin mendapatkan beasiswa kuliah di luar negeri. Bel berbunyi di seluruh penjuru sekolah. Audrey melirik G-Shock yang melingkari pergelangan tangan kirinya, sudah pukul dua siang. Semua murid bersorak riuh dan gembira. Mungkin mereka berpikir, satu hari lagi masa penyiksaan di sekolah berhasil dilalui. Namun bagi Audrey, hari ini belum berakhir, dia masih harus menjalani les berikutnya.

Audrey langsung membereskan buku-buku pelajaran dan alat tulis ke dalam tas ransel. Tasnya begitu berat sampai-sampai membuat punggungnya nyeri setiap malamnya. Namun dia tidak mengeluh.

Setelah guru keluar dari kelas, Audrey pun menyusul di belakangnya. Dia tidak boleh bersantai-santai. Dalam waktu lima belas menit, dia harus sudah siap menunggu di halte sekolah. Selama duduk menunggu, dia masih akan membaca flash cards yang sengaja dibuat sendiri olehnya, berisi rumus-rumus matematika atau pun fisika, atau mungkin kamus bahasa Inggris.

Sore ini, dia akan les balet. Audrey bukan seorang kutu buku yang tidak mementingkan kebugaran tubuh. Tapi yang terpenting, tentu saja Ibu Diana yang mengusulkan agar Audrey mengambil les ini. Sebagai refreshing otak, begitu alasan beliau ketika Audrey bertanya kenapa dia harus les balet.

Tentu saja Audrey tidak menyukai balet. Les balet itu berat, fisik harus selalu bugar dan sehat agar bisa menari dengan baik. Dan karena keterpaksaan, Audrey tidak pernah berhasil lolos mendapatkan satu pun peran utama setiap ada pertunjukan. Audrey tidak mengeluh tentu saja, karena hasil berlatih balet membuat tubuhnya terolah dengan sempurna. Dia tumbuh menjadi gadis manis yang selalu dikepang dua dengan postur atletis yang menarik.

“Sibuk banget!”

Audrey menghentikan aktivitasnya ketika mendengar ada seseorang yang berbicara di dekatnya. Dia pun menoleh dan melihat cowok yang merupakan salah satu teman sekelasnya, Akira namanya. Hal pertama yang selalu berhasil menarik perhatiannya mengenai cowok itu adalah kulitnya yang seputih susu, kurus dan tinggi. Selain itu, wajahnya terlihat terlalu cantik untuk ukuran anak cowok.

“Ngomong sama gue?” tanya Audrey.

“Sama siapa lagi. Masa sama kucing itu. Bisa disangka gila,” Akira menertawai ucapannya sendiri, menunjuk pada kucing garong yang sedang bersantai menjilati tubuhnya sendiri tak jauh dari kaki Audrey.

Tanpa meminta izin terlebih dahulu, cowok itu langsung duduk di sebelahnya. “Wow, padahal ujian masih lama, lo udah ngapalin rumus-rumus? Pantesan juara kelas terus.”

Audrey hanya tersenyum tipis. Menyadari posisi duduk mereka yang cukup dekat saat ini, Audrey bergeser. Kemudian dia melanjutkan membaca flash card kembali.

“Ulangan Fisika tadi pasti bisa lo kerjain semua.” Akira kembali bersuara.

“Hm,” gumam Audrey tidak tertarik untuk menjawab lebih banyak.

Terlepas dari wajah cantik cowok ini, Audrey tidak terlalu menyukai Akira sejak kali pertama mereka bertemu di awal tahun pelajaran baru. Menurut Audrey, Akira hanya cowok biang onar. Sejak hari pertama sekolah di kelas sembilan ini, Akira sudah membuat suasana kelas menjadi ribut dengan bernyanyi sambil mengetuk- ngetuk meja, mengajak murid cowok lainnya agar melakukan hal yang serupa dengan dirinya. Memang sih, hari pertama biasanya masih bebas dan tidak ada kegiatan belajar mengajar. Tapi tetap saja bukan untuk membuat ribut ‘kan? Akibatnya, sejak hari itu kelas mereka terkenal di kalangan guru sebagai kelas paling ribut dan biang onar. Padahal dia sama sekali tidak ikut-ikutan.

Selain masalah itu, Audrey menduga, Akira juga tukang menyontek ketika ulangan harian. Alasannya mudah, Akira tidak pernah terlihat belajar dengan serius, tapi cowok itu selalu mendapatkan nilai delapan atau sembilan, di semua mata pelajaran.

Bu Diana juga selalu mengatakan pada Audrey agar berhati-hati dalam memilih teman agar tidak ketularan nakal atau dicap jelek oleh orang-orang. Ibaratnya seperti kalau seseorang suka bergaul dengan tukang parfum, dia pasti akan ketularan berbau harum. Kalau dia bergaul dengan anak nakal, walaupun dia tidak nakal, orang lain pasti akan mengira dia anak nakal. Jadi, ketika Akira mencoba mengajaknya bicara seperti sore ini, secara refleks Audrey mencoba untuk menghindar dengan terus berpura-pura sibuk membaca agar cowok itu paham kalau dia tidak mau diganggu.

“Sepertinya gue salah ngisi jawaban nomor enam. Harusnya gue tulis min delapan. Tapi gue lupa ngasih tanda min-nya.. Lo gimana?”

Bola mata Audrey berputar. Yeah, tentu saja, kayak kamu mengisi dengan hasil kerja keras sendiri, begitu batinnya.

“Enggak ingat,” jawab Audrey singkat.

“Ah, enggak mungkin. Gue tahu kalau lo selalu ngecek jawaban setiap selesai ujian. Lo bahkan enggak pernah kaget, senang atau sedih setiap menerima hasil ulangan. Itu pasti karena sebelumnya lo udah tahu hasilnya.”

Kali ini, kesabaran Audrey sudah habis, dia menutup buku catatannya dan menoleh memandang wajah Akira dengan galak.

So what? Masalah buat lo?” Bukannya takut, cowok itu malah menyengir terlihat senang.

“Gue selalu lihat lo bawa tas besar itu tiap Selasa. Isinya apa?”

Lihat selengkapnya