“Pagi, Audrey,” sapa Akira. Cowok itu baru datang dan bermaksud duduk di kursinya sendiri, yaitu dua bangku di belakang Audrey.
“Oh, pagi,” balasnya sedikit kaget. Dia sama sekali tidak mengira kalau Akira akan menyapa dirinya.
Akira tersenyum pada dirinya, kemudian dia duduk di kursinya sendiri. Audrey sedikit heran, tapi dia tidak mau memikirkannya lebih jauh. Dia pun sibuk kembali dengan aktivitasnya, menyiapkan buku untuk pelajaran jam pertama hari ini.
Sekolah berlangsung seperti biasanya, semua mata pelajaran bisa dia terima dengan baik, karena malam sebelumnya dia menyempatkan diri untuk membaca materinya. Dia pun mendapat pujian dari guru seperti biasanya. Yang tidak biasa hanyalah, pada Untuk Pertama Kalinya Audrey bertengkar saat istirahat pertama dan kedua, Akira selalu mengajak dirinya untuk pergi ke kantin. Sedangkan selama ini dia tidak pernah pergi ke kantin. Dia selalu membawa bekal buatan Mama, jadi setiap jam istirahat dia selalu berada di dalam kelas atau pergi ke perpustakaan. Jadi tentu saja, kedua ajakan Akira itu ditolak olehnya.
Siang harinya selepas sekolah, dia menunggu dijemput Ibu Diana seperti biasa di halte. Dia sedang menghafalkan lima kata baru yang dibacanya dari kamus ketika Akira muncul kembali di hadapannya.
“Ravage, Rave, Raven, Ravine, Ravish. Lo yakin kata-kata itu akan keluar di ujian?” sela Akira.
Audrey langsung diam. Dia memang menghafalnya dengan bersuara, jadi wajar kalau Akira bisa mengetahui kelima kata yang sedang berusaha dia hapalkan dan pahami artinya.
“Gue ngapalin ini bukan untuk ujian. Gue ngapalin biar bisa ngomong bahasa Inggris dengan banyak kosa kata,” balas Audrey kesal.
“Well, you know, darling, speaking and reading are two different things. Sebagus apa pun nilai bahasa Inggris lo, tapi kalau sudah harus bicara, itu beda lagi kasusnya. Kalau lo enggak biasa bicara pakai bahasa Inggris, tetap aja lo akan terbata-bata. Trust me!” ucap Akira mengedipkan sebelah matanya.
Audrey mencebik, “Terus emang lo lancar ngomong bahasa Inggrisnya?”
“Percaya enggak percaya, gue juara satu lomba pidato bahasa Inggris waktu SD,” ucap Akira sambil tertawa, terkesan bercanda.
Audrey mengerutkan alisnya, tentu saja dia tidak akan percaya begitu saja, “Ya ya ya, oke tuan juara satu lomba pidato bahasa Inggris, mau lo apa sekarang gangguin gue?”
“Ih, GR! Siapa yang mau gangguin lo? Gue emang lagi nungguin jemputan juga di halte ini. Kebetulan aja ada lo.”
Audrey sedikit kesal, tapi dia tidak bisa menahan senyumannya, “Iya, deh! Gue mungkin sedikit GR, soalnya dari kemarin tumben-tumbenan lo nongol di halte, padahal biasanya gue enggak pernah ngelihat lo sebelumnya di sini.”
“Yang sibuk bukan cuman lo aja. Oh ya, terus kemarin gimana latihan baletnya?”
“Yaaa…, begitu deh! Lompat-meliuk-melambai-lompat lagi. Gue enggak ada bakat menari sebenarnya, selalu aja salah ritme dan hitungan. Padahal gue udah tahu kalau setelah hitungan ketiga harus segera melompat, tapi tetap aja kaki gue telat bereaksi. Baru setelah latihan berkali-kali gue bisa ngikutin gerakannya dengan sempurna bersama yang lainnya.”
“Well, practice makes perfect, right! Keep on the hard work, girls!”
Audrey tertawa mendengar ucapan semangat dari Akira, “Yes, Sir!” balasnya dengan lagak memberikan hormat.
“Terus hari ini kursus apa?” tanya Akira lagi.
“Oh, hari ini bahasa Inggris, kok!”
Akira manggut-manggut, “Pantas aja lo sibuk ngoceh ya, tadi!”
“Itu bukan ngoceh, Akira, itu namanya menghafal. Mengulang- ulang kata dengan tujuan untuk mengingatnya, dan bukan bertujuan untuk memancing pembicaraan dengan siapa pun seperti yang sedang terjadi saat ini.”
Akira tertawa mendengar sindiran itu, “Oke, Ma’am, diterima dengan jelas. Terus kalau kemarin les balet, sekarang bahasa Inggris, hari apa lo kursus pianonya?”
“Hari Sabtu.”
“Hanya Sabtu?”
Audrey mengangguk, “Ya, ‘kan gue bilang kemarin, Mama membatasi gue bermain-main. Mama lebih menekankan untuk banyak belajar.”
“Walaupun lo sangat suka bermain piano, dan hanya saat bermain piano aja lo merasa bahagia?”
Audrey mengangkat bahunya, “Kebahagiaan enggak bisa menjamin kemapanan masa depan.”
“Kata-kata dari mana itu?”