Satu Hati Dua Cinta

Yovinus
Chapter #2

02-Wanita Mana Marah Dikatakan Cantik?

 

Kesempatan itu kayak mie instan: sekali lewat air panas, habis sudah. Maka dengan senyum tipis tapi hati megap-megap, Otong pun mengangguk. Dia setuju nemenin cewek itu jalan-jalan.

Padahal pagi itu, rencana Otong simpel banget: turun dari losmen, cari tumpangan, pulang kampung ke hulu. Tapi siapa sangka, hidup punya ide lain.

Otong baru turun dari bis malam yang bau solar dan mimpi patah hati dari Pontianak, nyampe kota ini pas ayam jago udah absen berkokok. Jam tujuh pagi, dan dia udah kayak zombie dengan sandal jepit yang sebelah udah aus digigit kenangan.

Perjalanan tadi juga bukan perjalanan biasa. Harusnya bisa cepet, tapi terhambat gara-gara ferry di Semuntai kayak lagi disabotase alien: antrinya panjang, kapalnya ogah jalan, dan jalan dari Pontianak lebih bopeng dari wajah planet Mars. Lubang di aspalnya kayak bekas duel raksasa dan Godzilla. Duh.

Entah kenapa juga, Otong malah belok ke jalan belakang pasar Inpres. Jalan itu penuh masjid, besar-besar, mewah, megah, mirip markas Power Rangers versi reliji.

Orang-orang duduk zikir, dan Otong refleks jadi alim dalam hati. “Masya Allah,” pikirnya sambil nyari tumpangan, tapi batinnya malah sibuk muhasabah.

Masalahnya, musim kemarau sekarang ini bukan musim untuk pulang kampung. Sungai Kapuas udah kayak arena Hunger Games: penuh penambang emas liar! Speed boat akan susah jalan, jalur airnya berubah-ubah, batu kerikil nyebar kayak bumbu kacang, dan kalau speed boiat nyasar atau nabrak batu, bukan ditolong, malah disorakin.

Memang para penamabng emas liar itu kayak bangsa barbar!

Dan itu pun belum cukup. Pemilik tambang banyak yang mirip keturunan Wakanda, tapi pemerintah cuek bebek. Sabar jadi barang langka, dan kalau nggak tahan, bisa nyebar baku hantam lebih cepat dari gosip kampus.

Nah, pas jalan bareng Bavik, si cewek cantik penuh energi seperti minum lima botol minuman berenergi, Otong teringat mantannya. Dulu dia pernah pacaran juga, lima tahun, lalu putus karena beda keyakinan.

Miris tapi damai. Cinta mereka dikalahkan oleh pasal-pasal perbedaan. Otong sudah legowo, meski hatinya masih kayak mie rebus: lembek tapi tetap hangat.

Tapi hari ini… hari ini beda! Bavik kayak sinar mentari di tengah kabut tebal. Bikin Otong nyengir kayak habis dapat diskon 90%. Meski belum nemu tumpangan pulang, Otong ngerasa harinya sukses besar.

Padahal pagi tadi hampir ketabrak motor, eh, ujung-ujungnya malah senyum-senyuman bareng Bavik. Hidup emang penuh plot twist.

Siapa tahu, perjalanan romantis mereka ini, yang bermula dari urusan remeh seperti beli sisir bisa jadi legenda, minimal kenangan yang layak diunggah ke status WhatsApp.

Otong termenung. Ingatannya mental bolak-balik seperti kaset rusak. Dia ingat nama: Bavik . Ingat juga kosnya di ibu kota provinsi. Teman-temannya: Martin, Mikael, dan Leonardo; para mahasiswa yang lebih mirip boyband gagal audisi. Mereka saling pamer surat dan foto dari cewek bernama Bavik .

"Eh, ini Bavik yang itu, bukan sih?" kata mereka dulu, matanya berbinar macam nemu diskon tiket konser K-Pop.

Bavik , katanya, bunga sekolah. Tapi semua merasa mereka yang paling berjasa membajak hatinya. Pamer surat, foto, stiker, bahkan coretan 'I love U' di buku PR pun dianggap harta karun.

Sampai hari ini...

“Tidak banyak orang bernama Bavik loh, Bang Otong . Atau abang punya koleksi Bavik lain di saku?” kata si cewek tiba-tiba, nyadarin Otong yang lagi jalan-jalan di lorong memori.

“Ooohhh…” desah Otong , seperti habis kehabisan bensin di tengah sawah.

Lihat selengkapnya