Satu Hati Dua Cinta

Yovinus
Chapter #3

03-Lihaynya Kamu Gunakan Sumpit?

 

Mantan kekasihnya pernah berusaha menariknya masuk ke keyakinan yang ia peluk. Ia bahkan menyerahkan Kitab Suci mereka yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kitab suci yang harum kertasnya seakan menyimpan rahasia langit.

Otong membacanya, malam demi malam, seperti mengupas lapisan-lapisan rahasia dunia. Sebulan penuh ia meresapi isinya, tetapi pada akhirnya, hatinya memilih tetap berpegang pada keyakinan lamanya, bukan karena ia merasa agama itu keliru, melainkan karena getaran jiwanya lebih cocok dengan iman yang telah lama tertanam.

Ia mengakui, ajaran itu indah, luhur, bersinar seperti bintang di kegelapan. Tapi bukan cahayanya yang salah, hanya langitnya yang berbeda. Mereka berpisah dengan tenang, tanpa amarah. Namun satu hal yang selalu dijaganya: ia tidak pernah menyentuh kehormatan gadis itu. Ketika mereka berpisah, mantan kekasihnya masih utuh, suci seperti awal pertemuan mereka.

Kini, perempuan itu telah bertunangan, dan bulan depan akan menikah. Ironisnya, ia telah mengandung tiga bulan. Otong hanya bisa menatap langit senja, getir karena ia tak pernah sekalipun menyentuhnya.

Cinta mereka dahulu dibalut aturan, adat, dan iman. Ia tidak pernah ingin bercinta sebelum pernikahan; prinsip itu ditanamkannya dalam-dalam di dasar jiwanya, sekeras batu sungai yang menantang arus.

“Nah, Abang melamunkan pacar, kan?” tanya Bavik dengan mata menyipit nakal.

“Abang tidak punya pacar,” jawab Otong lirih, kepalanya menggeleng pelan, seperti menolak bayangan masa lalu yang terus memburu.

“Ah, bohong. Mahasiswa biasanya suka menggoda anak SMA saat mudik. Pacar segudang.”

“Sungguh, Abang tidak punya pacar,” balas Sangen.

Suaranya getir, seolah luka lama itu kembali meradang. Cinta pertamanya berakhir setahun lalu, tapi bekasnya masih berdenyut, menggores ingatan.

“Ah, tidak ada pencuri yang mau mengaku, Bang!” seru Bavik dengan gaya menggoda.

Otong hanya diam, membisu seperti tembok tua yang tak ingin memantulkan suara, meski hatinya riuh oleh luka yang tak terucap. Ia tak ingin berdebat dengan Bavik, meski kata-kata gadis itu telah menampar batinnya berkali-kali.

Untuk apa bertarung dalam perang yang ujungnya kehilangan? Bagaimanapun, Bavik telah menarik hatinya—mencuri ruang terdalam jiwanya tanpa ampun. Setiap napas gadis itu seperti mantera, membuatnya lumpuh oleh rasa yang tak berbalas.

Ia memilih bungkam, karena tahu, kadang cinta tak butuh pembelaan—hanya pengorbanan yang sunyi, dan keikhlasan untuk terluka sendirian.

“Kalau Abang ajak dek Bavik makan mie pangsit, mau tidak, Bavik?” tawarnya mencoba mencairkan suasana yang mulai tidak kondusif.

Bavik sempat ragu. Ia ingin cepat pulang setelah membeli sisir. Tapi momen semacam ini langka, seperti bintang jatuh di langit desa.

“Mau, mau banget. Tapi Abang Otong yang bayar, ya?”

“Tentu, aku yang ngajak,” jawab Sangen. “Massa nyuruh adek yang bayar.”

“Asyik! Makasih ya, Bang. Ayo cari tempatnya.”

“Ayo!”

Mereka berjalan menyusuri belakang Pasar Inpres, tempat warung-warung kecil berdiri di antara aroma masakan dan tawa orang-orang. Mereka memilih satu, tempat mie pangsit mengepul di udara.

Lihat selengkapnya