“Bakmienya, Ko!” seru pelayan yang juga pemilik rumah makan kecil itu sambil tersenyum ramah. Aroma kaldu mengepul bersama udara hangat yang mengepul dari mangkuk. Asapnya menari pelan, seolah ikut merayakan momen kecil yang berarti besar bagi Otong.
Otong dan Bavik duduk berhadapan, di bangku kayu tua yang sering diduduki para pasangan muda yang sekadar ingin menghangatkan malam dengan semangkuk mie dan tawa seadanya. Tapi tidak bagi Otong. Malam ini, semangkuk bakmie terasa seperti kesempatan terakhir untuk duduk bersama Bavik—gadis yang diam-diam telah menggetarkan relung hatinya sejak pertama kali melihat tawa gadis itu memantul di dinding kelas.
Mereka mengucapkan doa singkat. Suara Bavik pelan, seperti bisikan angin, sementara Otong menunduk khusyuk, menyebut nama Tuhan dengan suara batin yang juga menyisipkan satu harapan: "Biarlah waktu berhenti malam ini. Biarlah aku hanya duduk bersamanya, selama dunia ini bisa menanggungnya."
Begitu doa usai, Otong segera mengambil sumpit. Dengan lincah dan tenang, ia mulai memutar mie, mengangkatnya dalam gerakan presisi, lalu menyuapkannya ke mulut. Bavik melongo kecil, matanya membulat karena heran.
“Lho, kamu jago juga, ya, pakai sumpit gitu?” tanyanya dengan tawa yang tertahan. Suara tawa itu seperti lonceng kecil yang berdenting di dada Otong.
Otong tersipu, tapi mencoba tetap tenang. “Dulu waktu di pesantren, ada guru yang ngajarin. Katanya, biar bisa makan mie apapun, di mana pun,” jawabnya sambil tersenyum.
Bavik mencoba ikut-ikutan, mengambil sumpit yang disediakan, mencoba menjepit mie yang licin berkilau oleh minyak wijen. Tapi baru beberapa detik, sumpitnya lepas. Mie yang hendak diangkat terjun bebas kembali ke dalam mangkuk, memercikkan kuah sedikit ke bajunya.
“Aduh!” serunya. Otong nyaris tertawa, tapi buru-buru menahan diri.
“Ya ampun, susah banget! Ini sumpit atau senjata rahasia sih?” keluh Bavik, lalu menghela napas kecil. Akhirnya, dia mengambil sendok dan garpu yang tersedia.
“Boleh juga sih kamu jago begitu. Tapi aku nyerah deh. Nanti malah bajuku belepotan semua,” katanya dengan cemberut lucu.
Otong tertawa kecil. Ada tawa di antara suapan, ada kehangatan yang menggulung pelan di udara. Tapi di balik semua itu, ada luka yang diam-diam merayap dalam dada Otong.
Ia tahu, momen ini tidak akan terulang. Bavik bukan miliknya. Bahkan mungkin, tidak pernah akan jadi miliknya. Dia tahu bahwa Bavik punya dunia sendiri, lingkaran pergaulan yang berbeda, impian yang jauh lebih tinggi. Sedangkan Otong? Dia hanyalah mahasiswa biasa, anak kampung yang numpang hidup di kota, dengan segenap doa dan kerja keras dari orang tuanya yang kini menua di ujung desa.
Tapi malam ini, mereka duduk bersama, menikmati semangkuk bakmie dan tawa seadanya. Dan bagi Otong, itu cukup. Setidaknya untuk dijadikan kenangan yang bisa disimpan dalam lembaran hati, saat dunia mulai berputar terlalu cepat dan semuanya perlahan menjauh.
“Aku suka bakmie gini,” kata Bavik sambil menyeruput kuah dari sendoknya. “Hangat, gurih, dan bikin nyaman.”
“Sama,” jawab Otong pelan. “Rasanya kayak... rumah.”