Di lajur kanan itu, Bavik menggambar kolom-kolom penilaian seperti seorang dewi takdir yang sedang menilai jiwa-jiwa yang datang menghiba. Emosi, kemesraan, kelembutan, agama, suku, masa depan, sikap, ketampanan, tinggi badan, kebersihan, sopan-santun, kejujuran, cinta sesama, cinta binatang, keborosan — semuanya ia tulis dengan teliti.
Di ujung lajur kanan itu, ia beri satu garis tebal: Total Nilai. Titik takdir mereka semua akan jatuh di sana.
Gadis itu, seorang penjaga suci di antara reruntuhan moral, membuat seleksi seketat benteng pertahanan terakhir umat manusia. Ia masih perawan, bukan karena tak mampu merasakan hasrat, melainkan karena ia menolak menjadi korban arus zaman yang penuh kepalsuan.
Teman-temannya sering bercerita dengan bangga tentang petualangan mereka di ranjang, sementara di siang hari mereka tampil dengan wajah malaikat dan pita-pita kesucian yang palsu.
Tapi ia tahu, tubuh mereka sudah seperti jalan tol Jakarta–Surabaya: empat jari pun lolos tanpa hambatan. Penuh kelonggaran, penuh kenangan palsu.
Bavik adalah wanita biasa dengan tekad luar biasa. Setiap kali godaan merambat dari cerita teman-temannya, hasratnya sempat bangkit seperti api kecil di malam gelap. Tapi ia selalu cepat memadamkannya.
Ia simpan dirinya untuk suaminya kelak, satu-satunya pria yang berhak. Ia ingin menikah bukan hanya untuk bersatu tubuh, tetapi untuk bersatu jiwa dalam janji sakral yang tak terjamah oleh pengkhianatan.
Ia ingin pernikahan yang setia, bukan yang dibumbui logika murahan soal "fitrah lelaki."
Maka dimulailah proses membayangkan wajah-wajah para lelaki yang menyodorkan cinta. Empat guru muncul di benaknya; bukan sebagai pendidik, tapi predator yang menyamar. Mereka agresif, bahkan di kelas.
Rambutnya dielus, tubuhnya disentuh. Dua guru, pengajar Matematika dan Bahasa Inggris, memberinya nilai tinggi bukan karena kepintaran, tapi karena niat tersembunyi yang busuk.
Kepala sekolah memanggilnya karena kejanggalan itu. Bavik, terjebak dalam sistem yang membusuk dari dalam, hanya bisa menangis dalam diam.
Ada dua guru lain yang tak kalah aneh: satu suka mengumbar kehebatan dan kekayaannya dengan suara sebesar pengeras suara rusak, dan satu lagi lelaki genit yang tangannya seperti belalang, selalu hinggap di pipi siswi cantik mana pun.
Dunia pendidikan tak lagi mendidik; ia hanya jadi panggung sandiwara untuk lelaki dewasa yang kehilangan nurani.
Bavik beri skor pada masing-masing lelaki itu. Satu demi satu, kolom diisi. Total nilai dicatat. Dan hasilnya? Sungguh mengejutkan. Yang meraih skor tertinggi justru adalah Otong. Lelaki yang tidak tinggi. Tidak tampan.