Tetapi pada sore hari ini dan mungkin sampai malam nanti, Otong tidak bisa menikmati cerita-cerita atau deretan novel yang sangat disukainya itu. Karena dia harus segera membaca isi surat yang dikirmkan oleh Bavik.
Namun celakanya, Otong tidak berani membuka dan membaca surat Bavik di depan mereka, karena dia tidak tahu tentang isinya, apakah Bavik menerima dirinya atau malahan menolak.
Kalau di terima, ya artinya itu sebuah berita bahagia. Tetapi kalau sempat ditolak, yah itu adalah berita yang sangat memalukan. Otong belum siap menerima berita penolakan di depan kawan-kawannya yang jelas-jelas tiga orang diantara mereka berlima penghuni kost ini beberapa bulan yang lalu saling pamer akan kedekatannya dengan Bavik, meskipun Bavik menyangkalnya.
Otong melirik jam tangannya, sudah pukul 15.45 WIB. Karena ini menjelang malam minggu, akhirnya Otong memutuskan lebih baik dia pergi menonton filem saja, berharap mendapatkan kursi belakang dan bisa membaca surat Bavik di sana.
Karena menurut pengalamannya sejauh ini, di bagian belakang bioskop langganannya itu biasanya ada waktu beberapa menit terang sebelum filem di mulai.
Dia segera mandi dan membersihkan dirinya sebisanya, karena kamar mandi mereka ini tidak ada bak airnya, sehingga disiasati hanya mengangkut air dari tempat penampungan bersama di arah depan menggunakan ember.
Mereka satu komplek ini terdiri dari enam rumah kost, yang rata-rata dihuni oleh lima orang, tetapi oleh pemiliknya tempat penampungan air leding hanya ada satu buah yang terletak di tengah-tengah ke enam rumah itu.
Selesai mandi, Otong berjalan ke depan ke arah jalan besar dan menghentikan oplet jurusan sungai Raya ke Kapuas Indah. Dia memilih duduk di bagian belakang, karena tidak berani duduk di bagian depan karena biasanya sopir angkutan ini suka ngebut.
Di bagian belakang hanya tersisa tempat untuk sekitar dua orang saja, karena kursi oplet ini bentukanya terusan dan memanjang. Sehingga kondekturnya akan memasukan orang sampai tidak ada celah lagi diantara penumpang itu dan terkadang juga sering penumpang disuruh jongkok di tengah.
Belum juga Otong sempat duduk, opletnya sudah di gas keras oleh sopirnya, sehingga tanpa dapat ditahan lagi dirinya terduduk di paha seorang perempuan.
“Aduh, maaf,” ujar Otong lagi sambil cepat bangun dan duduk di bagian kursi yang kosong. Perempuan itu hanya tersenyum saja. Perempuan itu hitam manis, syukurlah tidak marah, pikir Sangen.
Tak lama kemudian, seorang perempuan menghentikan oplet mereka dari pinggir jalan, dia lalu naik ke dalam oplet. Wanita itu roknya pendek sekali dan baju nya sangat terbuka di bagian lehernya.
Ketika dia naik ke dalam oplet, setengah mati dia menutup roknya dan baju di bagian lehernya dengan kedua tangannya, sehingga gaya berjalannya seperti kura-kura hamil. Cari penyakit sendiri, pikir Sangen.
Kalau masih punya rasa malu, siapa suruh dia mengenakan rok kekuarang kain dan baju dengan kain yang serba minim begitu.