Satu Hati Dua Cinta

Yovinus
Chapter #7

07-Gas Terus Saat Dibutuhkan

 

“Jangan terlalu pikirkan Mama ya. Mama akan baik-baik saja di rumah. Kamu tuh harus cari pengalaman. Siapa tahu nanti gajinya lumayan, bisa ditabung buat masa depanmu sendiri,” ujar Mamanya dengan senyum yang terasa seperti tambalan di luka yang belum sembuh.

Tapi di balik kata-katanya, suara itu mengandung kesedihan yang dalam. Kesedihan seorang ibu yang harus merelakan anaknya bekerja, bukan untuk gaya-gayaan, tapi karena... kuliah itu mahal, Nak. Dan realita hidup sekarang kadang lebih galak daripada dosen killer.

Sementara Bavik hanya bisa mengangguk penuh semangat palsu. “Yalah, Ma. Besok Bavik ke Yayasan.”

Senyum Mamanya muncul, tipis dan lembut. Senyum yang bilang, “semoga kamu nggak salah ketik surat penting pakai Comic Sans.”

“Nanti gajimu langsung ditabung ya. Makan ikut Bapa, Mama, dan Abangmu aja. Kalau kami makan, berarti kamu juga makan. Kecuali kucing tetangga nyuri lauk, ya maaf-maaf aja,” lanjut Mamanya, mencoba lucu meski hatinya ingin nangis bareng sinetron siang.

Usai percakapan itu, Bavik langsung nyebur ke dunia dapur. Ia membantu Mamanya menyelesaikan sayur-sayuran yang dibeli dari pasar pagi tadi, selepas pulang dari Yayasan. Ada ikan asin, sayur keladi, daun pakis, pare, jengkol yaitu surga kecil bagi pecinta aroma tajam dan kenangan pahit.

“Ma, dari semua ini yang mana buat sayur pagi ini?” tanya Bavik dengan mata penuh harapan agar tidak disuruh masak jengkol.

“Ini udah siang, nak. Goreng ikan asin aja. Masak daun keladi, biar cepat,” jawab Mamanya, bijak seperti juru masak yang sudah menapaki level Master Chef Langit Ketujuh.

“Baik, Ma.”

Dengan langkah cekatan seperti prajurit kuliner, Bavik merendam ikan asin pakai air hangat dari termos warisan keluarga, demi mengurangi kadar “keasinan yang bisa bikin lidah trauma.”

Dia tiriskan, lalu lanjut ke keladi: cuci, bersihkan, pisahkan umbi dan batang, karena memasak dua elemen ini bersamaan adalah dosa kuliner yang tak termaafkan.

Ia menggoreng ikan asin cukup untuk mereka berempat: Ayah, Mama, Abang tertua, dan dirinya sendiri. Ikan asin itu mereka juluki "Ikan Asin Kayau" karena tak berkepala, seperti kebijakan pemerintah yang sering diprotes: terlihat, tapi tak tahu arah.

Setelah ikan asin siap dan ditutup rapat-rapat agar tidak dicaplok kucing liar tetangga atau lalat dengan cita rasa tinggi, Bavik beralih menyiapkan sayur.

Dia iris bawang merah dan putih, masukkan ikan teri Medan, lalu tumis hingga harum menyerang hidung seperti kenangan mantan yang belum move on. Umbi keladi dimasukkan, ditambahkan air, garam, micin (secukupnya, jangan lebay), dan yang paling sakral: asam. Tanpa asam, keladi bisa bikin tenggorokan gatal seperti dighosting tanpa sebab.

Setelah umbi mulai empuk, batang keladi menyusul masuk. Ia aduk penuh cinta dan pengharapan. Untuk mengimbangi rasa asin ikan, garamnya dikurangi, karena hidup sudah cukup asin.

Sambil nunggu sayur matang, dia tumbuk cabai rawit hingga bijinya menyerah, lalu campur tomat dan teri Medan yang membuat sambal legendaris yang bisa bikin keringat keluar dari pori-pori kenangan.

Semua siap, dihidangkan di meja makan, ditutup rapi (lagi-lagi karena kucing tetangga makin nekat). Bavik memanggil keluarga.

Lihat selengkapnya