Ho Chi Minh adalah seorang laki-laki yang masih bujangan, seorang guru agama, umur sekitar 26 tahun. Tubuh tipis dengan tinggi 165 cm, kulit putih dan rambut hitam lurus.
Wajah oriental dengan tahi lalat di atas bibirnya. Kata kawannya sih, tahi lalat itu pertanda bahwa dia pintar. Mungkin juga ada benarnya, karena selama sekolah dulu dia tidak pernah bergeser dari tiga besar, lebih banyaknya juara satu.
Ho Chi Minh terpana ketika memasuki ruangan administrasi kantor Yayasan. Di sebuah kursi di sudut ruangan sedang duduk seorang dewi malam, eh bukan, tetapi lebih tepat seorang Dewi pagi. Karena dewinya begitu cantik dan masih sangat muda.
Busyet, kok ada wanita secantik ini di sini, ya? Apakah tamu seperti saya atau pekerja di sini? Lalu pekerja yang lama ke mana? Kata Ho Chi Minh dalam hatinya.
“Selamat pagi Nyonya, eh Nona,” kata Ho Chi Minh sengaja menggoda. “Maaf. Apakah situ tamu seperti gue atau pegawai di sini?”
“Di sini tidak ada nyonya besar dan nama gue bukan Situ,” sahut gadis itu ketus.
Waduh, pikir Ho Chi Minh . Galaknya juga nih cewek.
“Aduh, maaf. Gue tidak tahu kalau situ galak amat.”
“Nama gue bukan Situ,” kata gadis itu kembali mengingatkan. Dia tidak suka dengan laki-laki yang mentang-mentang ganteng tetapi usil dengan wanita yang baru saja ditemuinya seperti ini.
“Oh, sekali lagi maaf. Nama gue Ho Chi Minh. Gue ada perlu dengan Pak Teguh. Apakah, maaf, Anda pegawai baru di sini? Soalnya tiga bulan yang lalu gue ke sini, ehm... Anda tidak ada di sini.”
“Nama gue Bavik. Bukan Anda.”
“Oke, oke. Sorry, Bavik. Tapi omong-omong, namamu cantik ya, Bavik. Tetapi orangnya jauh lebih cantik kok dari namanya,” rayu Ho Chi Minh .
Karena urusan rayu-merayu bukan hal baru baginya. Saking gantengnya, dia sudah punya pacar segudang, sehingga dia sudah lupa berapa jumlah pastinya. Karena wajahnya yang tampan, maka persoalan putus-nyambung itu biasa.
“Simpan saja pujianmu itu. Aku tidak punya uang kecil untuk upahmu,” balas Bavik.
Sebagai wanita normal, mau tidak mau dia harus mengakui jika Ho Chi Minh ini sangatlah tampan, bahkan jauh lebih tampan dibandingkan Otong.
Kalau Otong tubuhnya kokoh dan padat dan sedikit lebih tinggi, mungkin karena terbiasa kerja keras di kampung. Sementara Ho Chi Minh ini berbadan tipis seperti peragawan, tipikal pemuda kota yang tidak pernah merasakan ganasnya alam di pedesaan dan wajahnya memang sangat tampan.
“Uang besar juga tidak apa-apa, kok. Gue mau menerimanya,” sahut Ho Chi Minh lagi tidak menyerah.
“Lo ke sini sebenarnya mau merayu gue atau mau ketemu Pak Teguh, sih?” tanya Bavik mulai kesal.
“Ya, deh. Maaf. Oh ya, Bavik, pegawai baru kah di sini?”
“Aku bukan pegawai. Hanya bantu-bantu saja di sini.”
“Oke. Oke. Lalu pegawai yang lama ke mana?”
“Dia sudah menikah. Pindah ke kota lain ikut suaminya,” jawab Bavik.
“Lo aslinya mana, Bavik?”