“Yang tadi kah, Pak?” tanya Bavik ragu-ragu.
“Ya,” jawab pak Teguh tanpa curiga.
Dia lagi, pikir Bavik. Laki-laki usil itu, sungguh menjengkelkan. “Dia itu sebenarnya siapa sih, Pak?” Tanya Bavik penasaran.
“Ho Chi Minh ?”
“Ya, Pak.”
“Dia itu guru agama di Desa Lama, tetapi tinggalnya di kota ini. Inisitif dialah yang membuat acara itu.”
“Oh,” kata Bavik. Tetapi di dalam hatinya dia ngomel. Sungguh bikin repot saja. Tetapi itu tidak dia ucapkan di depan Pak Teguh. Bavik tidak suka gayanya yang suka merayu itu.
Tapi, sebentar dulu, lelaki itu memang ganteng sih.
Hari itu adalah hari Rabu, jam ditangan kiri Bavik baru menunjukan pukul 06.30 WIB, tetapi gadis ini sudah bersiap untuk pergi ke Yayasan dengan berjalan kaki. Jarak dari rumah mereka ke kantor Yayasan hanya berkisar sekitar 800 meter saja, sehingga tidak terlalu terasa bagi kaki-kaki mungil Bavik yang masih muda itu.
Pagi ini dia harus mengurus segala sesuatunya di Gedung Emaus, berkenaan dengan persiapan pelaksanaan Rekoleksi muda-mudi dari Desa Lama yang akan dilaksanakan mulai hari besok.
Yang membuatnya agak tidak enak adalah, dia di suruh pak Teguh untuk bersama-sama dengan Ho Chi Minhpergi ke Emaus. Tetapi mau bagaimana lagi, dia belum memiliki SIM, padahal sekarang sedang giat-giatnya rajia SIM dan perlengkapan kendaran oleh pihak Kepolisian.
Sementara untuk mengurus SIM itu tempatnya jauh, apa lagi Bavik tidak punya sepeda motor untuk pergi ke sana.
Dulunya kantor Polisi di kabupaten mereka ini berada di dekat pasar, yang bisa dicapai hanya dengan berjalan kaki saja. Tetapi sekarang sudah pindah sejauh 12 kilometer ke arah luar kota, yaitu malah ke arah Ibu Kota Kabupaten sebelumnya.
Bavik ingat ayahnya pernah cerita, bahwa proses pemindahan itu semuanya adalah permainan. Karena dulu itu harga tanah di sana hanya seribu rupiah per meter perseginya. Lalu ketika diperuntukan sebagai tempat bangunan pemerintah, maka ketika di-SPJ-kan, maka harga tanah di situ sudah mencapai 200 ribu rupiah permeter perseginya.
Sehingga banyak pihak yang berbagi rejeki sekitar 3,8 miliar hanya dari selisih harga tanah saja, karena tanah itu luasnya adalah 2 hektar.
Bavik mengenakan baju warna biru terang dengan lengan melewati siku, sehingga tampak jelas kulitnya yang putih. Celananya jeans berwarna abu-abu ketat, sehingga jelas mencetak tubuhnya yang ramping.
Rambut hitam lebat dengan panjang melewati bahu sehingga jelas menampakan kecantikan wanita Asia yang berbadan tipis dan berkulit mulus.
Beberapa kali suitan-suitan dan gurauan yang terkadang sering bernada kurang ajar dari para lelaki pekerja bengkel, penjaga toko bangunan dan juga karyawan toko kelontong dan toko elektronik lainnya ketika dia berjalan melintasi pasar menuju ke kantor Yayasan.
Tetapi Bavik diam saja, dia tidak mau menanggapi mereka. Karena para lelaki iseng begitu sudah biasa dihadapinya sejak dari masih sekolah dulu.