Meskipun Bavik dengan gerakan secepat kilat segera menggeser tubuhnya menjauh dari Ho Chi Minh, seolah ingin menciptakan batas antara benua dengan samudra, namun tak bisa dielakkan bahwa gesekan lembut tubuh Bavik yang sesekali menempel pada sisi Ho Chi Minh berhasil membuat pemuda itu menyunggingkan senyum tipis penuh makna, seperti seorang penyair yang menemukan bait syair tersembunyi di balik tubuh manusia.
Ia pura-pura tidak tahu, tentu saja sebuah sandiwara klasik yang dimainkan dengan mahir sementara di sisi lain, Bavik justru hampir meledak dalam jengkel yang tak terucap, seperti guntur yang tertahan di langit kelabu.
Beberapa saat kemudian, mereka tiba di Emaus setelah menempuh perjalanan berkilometer, dengan roda motor memecah kesunyian seperti kapal melintasi samudra berbintang.
Pengurus Emaus, yang melihat bahwa Bavik seperti makhluk dari dimensi lain yang baru pertama kali mengurusi dunia logistik, segera memandu dengan telaten.
Ia membimbing Bavik layaknya seorang pemandu spiritual dalam ziarah agung: mulai dari membagi porsi makanan sesuai pesanan Ho Chi Minh, mengatur barisan tempat tidur dengan pemisahan gender yang rapi bak protokol surgawi, hingga mempersiapkan alat-alat seperti mikrofon, proyektor, dan sound system yang berdengung seperti orkestra elektronik dari masa depan.
Hari itu, seperti dalam siklus karma yang terus berputar, Ho Chi Minh dan Bavik mondar-mandir antara Emaus dan pasar. Mereka seperti dua karakter dalam komik petualangan, berburu peralatan pertempuran berupa map, pulpen, buku tulis, dan senjata lainnya yang tampak remeh namun penuh makna.
Awalnya, Bavik bersikukuh menjaga jarak ketika duduk di belakang Ho Chi Minh, seperti satelit yang mengelilingi planet tanpa menyentuh atmosfer. Namun, jalan yang rusak dan berkerikil seperti permukaan asteroid membuatnya akhirnya menyerah dan tubuhnya mulai menempel perlahan.
Sebuah keintiman kecil yang membuat Ho Chi Minh tersenyum lebar, seperti orang yang baru saja memenangkan lotre rahasia semesta.
Acara rekoleksi muda-mudi itu bukan sekadar kegiatan biasa, itu adalah semacam laboratorium spiritual tempat para calon dewasa ditempa. Mereka yang akan segera tamat SMA, kini duduk dalam lingkaran waktu dan disuguhkan berbagai materi kehidupan: dari Keluarga Berencana hingga Kesehatan Ibu dan Anak, dari cinta tanah air sampai kiat menangkal penyakit yang bersembunyi dalam debu peradaban.
Tapi yang paling sakral dari semuanya adalah: pendalaman iman, sebuah hal yang sering terselip di antara jadwal pelajaran matematika dan tugas rumah fisika.
Apakah mereka kelak akan menjadi profesor, tukang cukur, penjual es kelapa, atau buruh bangunan? Tak menjadi soal. Yang penting: mereka bukan sampah masyarakat.
Mereka akan menjadi lentera, bukan puntung rokok. Menjadi garam dunia, bukan debu kota. Anak-anak itu dilatih bermeditasi seperti pertapa Himalaya, berdoa harian seperti biarawan digital, dan belajar mencintai seluruh ciptaan Tuhan dari bintang jatuh hingga semut yang kesepian.