Satu Hati Dua Cinta

Yovinus
Chapter #11

11-Kamuflase

 

Otong merasa dirinya sedang berjalan bersama Bavik di sebuah padang rumput yang luas dan berangin. Mereka berlari-lari kecil seperti anak-anak yang sedang bermain surga.

Di kejauhan, terlihat sebuah bunga indah tumbuh sendirian di tepi lereng yang curam, bunga yang tampak seperti lukisan Tuhan yang tak ingin diganggu.

Bavik memandang bunga itu dengan mata berbinar. Otong tahu, ia ingin bunga itu.

Maka tanpa pikir panjang, Otong pun berusaha memetiknya. Namun ia tak menyadari bahwa tanah di dekat bunga itu rapuh. Tiba-tiba, tanah longsor.

Tubuh Otong melayang jatuh dari ketinggian ratusan meter, seperti dilemparkan oleh semesta tanpa ampun. Ia merasa tubuhnya meluncur cepat menuju kematian. Di bawah, bebatuan karang menunggu seperti para algojo tak berwajah.

Ia menutup mata. Pasrah. Mati demi cinta, pikirnya. Bukan karena tak sayang hidup, tapi karena cinta yang ia perjuangkan tak pernah kembali pulang.

Ia lelah menjadi satu-satunya yang bertahan, sementara orang yang ia cintai bahkan tak menoleh. Air matanya sudah kering, suaranya sudah hilang. Hanya bisu yang menemani harapan yang remuk.

Ia membayangkan wajah orang itu terakhir kali senyumnya, suaranya, segalanya. Lalu membiarkan dirinya tenggelam dalam gelap yang damai, seperti menyerah dalam pelukan malam.

Jika cinta adalah luka, maka biarlah ia mati sebagai perih yang diam. Tanpa amarah. Hanya rindu yang tak sempat sembuh. Namun, tubuhnya seperti menghantam sesuatu. Bukan akhir. Beberapa detik kemudian, tubuhnya terguncang, terasa ada yang menggoyang-goyangnya.

"Hey, Sangen. Bangun. Bangun. Ada surat untukmu," seru Martin sambil menyerahkan sepucuk surat.

Otong membuka matanya perlahan. Dunia masih utuh. Ia menerima surat itu. Dari Bavik.

Semangatnya langsung bangkit. Ia memang sangat merindukan Bavik, teramat sangat. Sudah lama ia menunggu surat balasan dari gadis pujaannya itu. Baru dua kali ia menerima surat darinya: yang pertama saat Bavik menyatakan menerima cintanya, dan yang kedua memberitahukan bahwa ia sedang membantu administrasi di sebuah yayasan sekolah.

Ia melirik jam tangannya. Pukul 13.12 WIB. Siang telah jauh lewat. Rupanya tidurnya cukup lama.

Akhirnya suratmu datang juga, sayangku, batinnya. Tapi ia tidak ingin membacanya di kamar. Satu hal yang belum pernah ia lakukan: mengungkapkan kepada teman-temannya bahwa ia dan Bavik telah menjalin cinta.

Apalagi Martin, teman sekamarnya, dulu pernah membanggakan kedekatannya dengan Bavik di hadapan Mikail dan Leonardi.

Meski hatinya meledak-ledak ingin tahu isi surat itu, Otong masih bisa mengendalikan diri. Ia menyelipkan surat itu ke dalam saku celananya dan berjalan ke luar kamar.

Lihat selengkapnya