Hampir satu jam lamanya Otong menelusuri lorong-lorong pikirannya sendiri, membongkar reruntuhan kenangan bersama Bavik, pacarnya yang telah mendadak memutuskan hubungan mereka.
Dalam batinnya bergemuruh berbagai kemungkinan penyebab perpisahan itu, mulai dari yang masuk akal hingga yang hanya pantas dimuat di buku sejarah murahan dan penuh rekayasa.
Semakin lama dia merenungi, justru pikirannya malah menjadi semakin jernih atau setidaknya dia merasa begitu. Mungkin saja Bavik punya pertimbangan khusus, pertimbangan yang tidak akan ditemukan di buku matematika manapun.
Bisa jadi juga dia sadar bahwa Otong bukanlah pria yang cocok, baik dari sisi spiritual, finansial, fisik maupun kemampuan menyanyi di karaoke keluarga.
"Mungkin dia dapet bisikan dari orang tuanya," gumam Otong sambil menatap langit-langit bioskop yang gelap seperti masa depannya.
"Atau... mungkin dia udah jatuh cinta sama cowok lain yang lebih segalanya dari aku. Lebih tinggi, lebih tajir, lebih bisa nyetir mobil sambil ngevlog..."
Apa pun alasannya, Otong sadar bahwa cinta memang tak bisa dipaksakan. Dia tak ingin menjadi penghalang kebahagiaan Bavik. Cinta bukan soal kepemilikan; itu soal memberi ruang dan merelakan, katanya dalam hati, meski hatinya sendiri sedang tercabik-cabik seperti kantong plastik dikeroyok kucing jalanan.
"Jangan sampai, buat aku ini anugerah, tapi buat dia bencana," pikirnya lirih, penuh keikhlasan meskipun sakitnya tuh di sini. Ia nyaris meneteskan air mata kalau saja tidak sedang berada di ruang publik.
Film yang ditontonnya pun berakhir tanpa jejak di ingatannya. Para penonton mulai meninggalkan gedung, ramai dan gaduh seperti gerombolan ayam panik.
Otong tetap duduk. Kalau biasanya dia paling duluan berdiri, kali ini dia justru jadi penonton terakhir yang keluar, seakan berharap bioskop bisa mengadopsinya jadi salah satu kursi.
Begitu keluar, udara panas menyergapnya seperti mantan yang tiba-tiba minta balikan pas lagi bahagia. Perutnya juga mulai memberontak. Wajar, dari pagi belum diisi.
Maka, ia pun melangkah menuju warung Padang langganannya. Masakan Minang selalu berhasil membangkitkan semangat hidupnya, setidaknya sampai level nasi rendang.
Ia duduk dan memesan nasi dengan sayur daun ubi rebus, kuah santan, dan sebutir telur ayam rebus yang kulitnya sudah dikupas rapi. Di depannya berdiri dua mangkuk sambal cabai rawit tomat, masing-masing seperti miniatur gunung berapi siap meletus.
Otong menatap sambal itu seperti pahlawan yang siap mengorbankan dirinya demi negara.
"Hari ini, aku akan makan sambal sampai air mataku keluar, bukan karena patah hati, tapi karena aku kuat! Kuat, ngerti, Tong?! Kuat!!!"