Satu Hati Dua Cinta

Yovinus
Chapter #15

15-PPL Di SMEA II

 

"Hitung-hitunglah, kita semua penghuni tiga rumah kost ini yang bersatu karena nasib dan nasi," kata Acun dengan gaya sok pemimpin.

Tiga rumah kost itu memang dihuni oleh orang-orang dari daerah yang sama. Hubungan mereka rumit—antara saudara sepupu jauh, teman kecil, atau sekadar kenal karena pernah numpang WiFi.

"Duabelas orang, ya?" tanya Baltasar sambil mencoret-coret udara pakai jari, seolah itu kalkulator.

"Ya," jawab Acun mantap.

"Uangnya?"

Acun mengeluarkan dompet seperti mengeluarkan jimat. Tiga lembar uang seratus ribuan keluar seperti ritual. Ia ulurkan kepada Baltasar seperti sedang menyerahkan mandat negara.

"Nasi saja, kan?" tanya Baltasar lagi, memastikan bahwa ia tak salah menerima wahyu.

"Ya," jawab Acun polos, tanpa firasat akan datangnya badai.

"Baik. Aku berangkat," kata Baltasar sambil melenggang ke warung Padang yang jaraknya kira-kira 800 meter.

Seolah sedang menjalani misi suci: menyelamatkan perut dua belas anak kost.

Di rumah kost Acun, dua belas kursi telah disusun, aroma lapar telah mengudara. Dua orang masih kuliah, tapi jatah mereka sudah direservasi ya, walaupun sistem reservasinya cuma pakai kantong plastik.

Empat puluh menit berlalu. Baltasar pun datang kembali dengan dua tangan seperti timbangan keadilan: kiri dan kanan membawa nasi bungkus. Ia mengembalikan sisa uang ke Acun, sebanyak seratus delapan puluh ribu!

"Banyak yang antre. Jadi agak lama," jelas Baltasar dengan wajah capek tapi puas.

Acun menatap uang itu seperti baru menang lotre.

"Kok murah banget, Sar?"

"Entahlah. Mungkin dia kasihan sama aku," jawab Baltasar santai, sambil mengangkat bahu dan hati-hati meletakkan nasi bungkus ke meja.

"Ya, sudahlah. Ayo, kita kumpul," kata Acun semangat. "Kita doa dulu. Siapa yang pimpin?"

"Rukmini saja!" sahut semua kompak seperti paduan suara yang kelaparan.

Rukmini mengangguk. Sebagai satu-satunya perempuan dan juga Muslim yang paling sering pakai kerudung, dia dipercaya jadi imam doa makan. Ayahnya mualaf, ibunya menganut agama itu karena warisan orang tuanya, dan doanya... panjang.

Bahasa Arabnya menakjubkan, walau yang lain cuma paham kata “amin” saja.

Begitu “amin” terakhir meluncur, Acun langsung mengumandangkan semangat.

"Sikat!"

"Sikaaaat!" timpal yang lain.

Mereka membuka nasi bungkus seperti membuka kado ulang tahun. Tapi...

"Lho?" celetuk Acun, alisnya menari-nari gelisah.

Lihat selengkapnya