Fahjrul nyaris lompat dari kasur gravitasi rendahnya ketika ia sadar, alam semesta sedang tidak memberikan privasi! Tidak ada apa-apa lagi menutupi mereka, selain kesadaran yang mendadak datang terlambat.
Refleks seperti seorang prajurit dari pasukan Galaksi Venus, dia menarik selimut transparan termal dan menutup tubuh mereka berdua.
“Sensor ketahuan aktif…,” desis Fahjrul. “Harus segera tutupi zona ini!”
Selimut sudah pada tempatnya, tapi gravitasi antara dua planet yang berdekatan memang sulit dikendalikan. Fahjrul mulai menyerang meski sempat beberapa kali tergelincir seperti jet tanpa stabilizer, sampai akhirnya tubuh mereka menyatu bak sistem orbit ganda.
Ia mengayuh seperti kapten kapal antariksa yang menghindari tabrakan asteroid: pelan, terukur, dan berirama. Maria... oh Maria... mendesis seperti reaktor plasma yang baru diaktifkan, menemukan sensasi luar biasa yang tak pernah dia temukan, bahkan saat makan nasi Chap Chai bintang lima.
Kali ini, Nasi Padang berlabel premium ternyata menawarkan ledakan rasa yang tak hanya menggoyang lidah, tapi juga dimensi batin.
Fahjrul sudah di ambang badai matahari, tapi tetap menahan diri agar tidak segera masuk ke pelabuhan. Tapi ketika gravitasi Maria meningkat drastis dan menjepit dirinya sekuat Black Hole, tak ada lagi cara untuk kabur.
Muatan energi plasma pun tumpah ruah ke stasiun penerima. Kosong sudah tangki energinya.
Maria menggigil seperti kabel listrik yang disambar kilat. Keduanya pun akhirnya berpisah dari orbit masing-masing. Maria berbalik dan masih sempat mencubit perut Fahjrul seperti mau mengatur ulang parameter mesin.
Fahjrul tidak mengerti maksudnya, tapi tidak ayal juga dia mencium kening Maria, lalu keduanya terlelap dalam mode hibernasi.
Namun, rupanya bukan hanya mereka yang mengalami lonjakan emosi lintas dimensi. Abdullah dan Hanifah, Fredo dan Diyah, Firmansyah dan Ayuningsih, Ahmad dan Nunung, serta Ali dan Fulan... semua mengalami badai lokal skala tinggi.
Sementara satu-satunya satelit yang tetap di jalur aman adalah Wulandari, si gadis paling disiplin dari Galaksi Shubuh. Ia tidur nyenyak dalam keamanan moral dan spiritual.
…
Sementara itu, di markas sebelah, Otong duduk melamun seperti robot yang lupa di-charge. Ia duduk di meja kayu dekat jendela, menatap bintang-bintang seperti sedang menjalin komunikasi dengan satelit orbit rendah.
Tanpa lampu, tanpa suara, ia benar-benar sendirian.
Wajahnya melankolis. Dalam pikirannya hanya satu nama; Bavik. Gadis yang ia cintai, tapi kini sudah hilang seperti sinyal Wi-Fi di daerah terpencil. Namun, cinta sejati tak perlu memiliki.
Ia pun berdoa, memohon agar Bavik diberkahi kebahagiaan dan pasangannya orang yang baik, tidak menyakitinya dan menyia-nyiakan. Tidak habis manis sepah di buang.
Ia mengeluarkan Rosario-nya, memanjatkan doa lima persepuluh Salam Maria dan tiga kali Bapa Kami. Ia menyelipkan permintaan khusus kepada Sang Pencipta agar setan dan iblis jangan numpang KKN di tempat mereka.
Biar semua bisa pulang dalam kondisi normal, tanpa insiden moral.
Setelah itu, ia termenung lagi. Masih banyak hal harus ia selesaikan. Skripsi yang terbengkalai seperti satelit rusak, gelar sarjana yang masih menggantung di awan. Ia ingin kembali dan membaktikan hidup untuk Nusa, Bangsa, dan... mungkin... Bavik ?
Menjelang pukul dua belas malam, barulah rasa kantuk menyerangnya. Ia merebahkan tubuh di ranjang, membayangkan bahwa teman-temannya di rumah sebelah pasti sudah tidur lelap.
Ia tidak tahu... bahwa di balik tembok sana, telah terjadi badai keintiman skala besar, hujan lokal yang membasahi sampai ke dimensi batin.