Satu Hati Dua Cinta

Yovinus
Chapter #22

22-Semangat & Cangkul Tua

 

Perekonomian warga transmigran di desa itu kian hari kian menanjak. Dulu mereka datang hanya berbekal semangat dan cangkul tua, kini anak-anak mereka sudah menyentuh bangku perguruan tinggi.

Di sisi lain, warga lokal masih berkutat dengan masalah klasik: menolak beradaptasi dengan zaman yang terus bergerak secepat kereta levitasi magnetik. Tidak mau mengikuti perubahan dan belajar teknologi.

Di daerah transmigrasi itu, di tengah rimba hijau yang dipeluk kabut pagi, hidup masyarakat Dayak yang memiliki budaya penuh warna. Namun, di balik tarian-tarian Gawai yang semarak dan tawa yang menggema di rumah-rumah panjang, tersimpan dinamika sosial yang tak selalu mudah.

Sebagian dari mereka, khususnya generasi muda, tampak enggan menyambut kemajuan seperti pendidikan tinggi atau teknologi modern. Mereka lebih memilih euforia sesaat seperti berpesta dalam Gawai, menenggak minuman keras hingga mabuk, bahkan terjerumus ke dalam jerat narkoba saat bekerja di ladang-ladang emas ilegal yang menjanjikan kilatan kekayaan semu.

Memang ada sebagian juga yang berkebun sawit, tetapi itu sedikit yang dari modal sendiri, kebanyakan karena dapat proyek, yang proyeknya terbengkalai dan duitnya bagi rata, sebagian lagi ke Cafe dan untunglah jika sisanya sedikit untuk usaha.

Ada yang mulai mengubah penampilan: rambut dicat warna mencolok, kuku tangan dan kaki berhiaskan warna-warni neon. Simbol kebebasan? Mungkin. Atau hanya bentuk pelarian dari realitas yang makin rumit.

Di balik pilihan-pilihan itu, tersimpan cerita-cerita lama: tentang identitas yang kabur, tentang adat yang tak lagi kuat memeluk, dan tentang masa depan yang samar.

Bukan karena mereka bodoh atau malas, tapi karena arah dunia yang terus berubah, sementara mereka masih berdiri di persimpangan antara tradisi dan modernitas. Mereka butuh jembatan, bukan hanya kritik; pelita, bukan sekadar celaan.

Ironisnya, banyak anak-anak muda dari warga lokal justru terjebak dalam pusaran gaya hidup "hura-hura mode turbo". Malam dijadikan arena berpesta: begadang sambil bermain gim ala panglima galaksi, minuman keras seperti eliksir alien diteguk tanpa ragu, berjudi seakan sedang memainkan nasib semesta, dan berkelahi seperti Ksatria Orion.

Akibatnya? Pagi datang dan mereka tetap mendekap guling, sementara warga transmigran sudah bercangkul sejak fajar menyingsing, membangun harapan dari ladang basah.

Meskipun dulunya hanya berbekal semangat dan cangkul tua, pada akhirnya mereka bisa beli Fortuner atau Pajero.

Tentu tidak semua warga lokal begitu, namun secara statistik kuantum sosial, mereka kalah unggul dari para pendatang. Rasanya seperti membandingkan motor solar 1970 dengan mobil listrik otonom yang bisa terbang.

Di tengah situasi itu, mahasiswa KKN tampil seperti Avengers desa. Mereka memperbaiki saluran pengairan sawah sepanjang dua kilometer meski tidak dibeton, tapi setidaknya sudah dibaharui dengan kayu bulat hasil hutan rakyat.

Lihat selengkapnya