Pagi itu, langit secerah harapan seorang remaja yang baru pertama kali pergi merantau. Angin semilir seperti bisikan halus semesta ikut mengantar langkah kaki Bavik yang kini menaiki bus menuju Pontianak.
Dari tepi terminal, kedua orang tuanya melambai pelan, seakan hendak memeluknya dari jauh. Kota kecil tempat Bavik lahir, Nanga Pinoh, kini perlahan menjauh di balik debu knalpot dan kabut kenangan.
Bavik menelan ludah. Ada sejumput rasa getir di dadanya, bukan karena sarapan yang kurang garam, tapi karena ia harus meninggalkan kota kecil dan orang-orang yang dicintainya demi sebuah kursus komputer.
Bukan kuliah, bukan pula sekolah mode luar negeri. Hanya kursus komputer. Itu pun sudah paling maksimal yang bisa orang tuanya usahakan, karena penghasilan keluarga mereka pas-pasan.
Hanya kakak sulung yang bisa merasakan bangku kuliah. Seperti kebanyaka anak di daerahnya, Bavik dan abangnya cukup puas tamat SMA, lalu bertahan hidup dengan harapan.
Dulu, Bavik sempat bekerja di sebuah yayasan, tapi kemudian digantikan oleh orang yang lebih mahir komputer. Di kotanya, komputer masih barang langka. Bahkan melihat mouse bisa jadi bahan tontonan warga sekampung.
Jadi, mau tak mau, Bavik harus hijrah ke ibu kota provinsi demi belajar mengetik dan klik-klik. Karena hidup harus berubah, harus menyesuaikan diri dengan jaman.
Tapi, perjalanan ini bukan main-main. Bukan sekadar naik bus dan lihat pemandangan sawit. Bavik harus naik bus sendirian, padahal ke Pontianak pun dia belum pernah. Orang tuanya hanya bisa menitipkannya kepada sopir bus yang mereka kenal.
Untungnya, sopir bus Maju Terus itu masih sepupu dari iparnya tetangga belakang, jadi lumayan bisa dipercaya. Nanti, sesampainya di Pontianak, sopir itu akan menyerahkan Bavik kepada mobil jemputan penumpang, yang mirip layanan taksi tapi penuh aroma pengap dan kenangan penumpang sebelumnya.
Kehidupan keluarga Bavik memang sederhana. Ayahnya hanya seorang PNS golongan IIA. Gaji kecil, tanggung jawab besar. Untunglah ibunya serba bisa: bisa bantu orang melahirkan, bisa menjahit, bahkan bisa mengeriting rambut hingga mirip mi instan.
Mereka adalah pasangan pejuang dalam ekonomi yang sangat sulit, karena mereka orang jujur. Tidak ada niat ikutan korupsi, meskipun hidup akan jadi berlimpah.
Di dalam bus, Bavik duduk di sebelah seorang pria yang lebih aktif dari kipas angin 3 level. Tangannya tak bisa diam; ngupil, merokok, terkadang tangannya nakal. Sesekali pura-pura tidur sambil nyender ke Bavik. Kalau bisa, dia mungkin ingin jadi guling hidup.
Memang, pesona alami Bavik yang masih belia ibarat embun pagi di kelopak mawar; bening, segar, dan memikat tanpa perlu usaha. Kecantikannya hadir begitu tulus, seperti cahaya fajar yang pelan-pelan menyibak kabut, menggoda mata siapa pun yang menatap, meski hanya sekilas.
Bavik berkali-kali menegur si pria, tapi kayaknya pria itu punya telinga dari tahu goreng. Karena tidak bisa mendengar keluhan wanita muda ini.
"Awas ya Mas, saya laporin ke sopir!" ancam Bavik suatu kali, dengan mata melotot dan suara setajam spidol permanen.
Barulah si pria agak mengurangi kegiatannya. Walau masih sempat-sempatnya nyentil lengan Bavik dengan alasan pura-pura ngambil korek. Tapi ancaman Bavik itu, intensitas gangguan menurun drastis.
Perjalanan ke Pontianak ternyata lebih penuh drama daripada sinetron. Jalanan berlubang-lubang seperti permukaan bulan, membuat bus harus melambat. Biasanya, tiga jam bisa sampai penyeberangan di Semuntai, tapi kali ini sudah setengah hari, bus baru nyampe.
Yang lebih menyedihkan, penyeberangan itu penuh antrian. Ferry cuma satu, padahal biasanya ada dua. Ferry satunya katanya mogok gara-gara makan terlalu banyak penumpang—maksudnya rusak.
Bavik tertegun melihat besarnya Sungai Kapuas. Lebarnya bisa buat balapan kapal Titanic. Lebih dari 1000 meter, pikirnya. Itu sungai apa danau?
Bus terjebak di antrian, belum bisa mendekat ke ferry. Bavik memutuskan turun dari bus dan berjalan beberapa kilometer, kemudian berdiri di dekat pagar sebuah warung. Di dalam warung itu, duduk seorang polisi yang sedang ngopi sambil ngelirik ke arahnya.
"Mau ke mana, Nduk?" sapa si polisi dengan senyum ala iklan pasta gigi.
"Ke Ponti, Om," jawab Bavik. 'Ponti' memang sebutan ringkas warga Kalbar untuk Pontianak.
"Duduk di dalam saja, yuk," ajak sang polisi ramah.