Satu Hati Dua Cinta

Yovinus
Chapter #24

24-Perjumpaan Yang Tak Disangka

 

Untunglah di ujung gang itu segerombolan anak muda tengah nongkrong sambil memetik gitar. Melodi jalanan bergema ringan di antara suara obrolan dan tawa mereka. Dengan langkah ragu-ragu dan wajah tegang bak peserta ujian matematika, Bavik  mendekat ke kerumunan itu.

Ia ketakutan setengah mati, seorang gadis mungil, melangkah di kota asing yang baru dilihatnya malam itu, saat dunia sudah nyaris terlelap dan bayang-bayang menjadi lebih hidup dari cahaya.

Jantungnya berdentam seperti genderang perang. Dan di depannya, berdiri sekelompok laki-laki dengan wajah yang susah di tebak, entah ramah atau kriminal, who knows. Wajah mereka sepertinya tidak bersahabat, dengan tato menjalar di lengannya seperti peta dunia kriminal. Setiap detik terasa seperti adegan terakhir dalam film horor.

Tapi anehnya, langkah kakinya tak berhenti. Mungkin karena doa ibunya, atau mungkin karena keberanian yang baru saja lahir, di tengah malam dan ketakutan yang menari liar. Ia mendekati tempat mereka bermain gitar.

Tidak tahu bertanya kepada siapa lagi, se;lain kepada sekumpulan orang yang menakutkan …

“Permisi... Maaf, numpang tanya... Gang Sentosa di mana, ya?” tanyanya dengan suara selembut angin semilir.

Salah seorang dari mereka, seorang pemuda dengan rambut gondrong seperti sedang audisi untuk jadi gitaris band rock tahun 80-an, menoleh sambil tersenyum misterius.

“Aku tahu di mana Gang Sentosa,” ujarnya. “Dan aku mengenal orang-orang yang tinggal di kos itu. Kamu mencari itu, kan”

“Ya.”

Bavik  sempat bergidik. Antara lega dan waswas. Tapi tidak ada pilihan. Dengan dengan doa yang panjangnya berhalaman-halaman dan diulangi berkali-kali dalam hati, ia mengikuti pemuda gondrong itu menelusuri jalan sepanjang satu kilometer, lalu membelok ke dalam gang sempit sejauh 300 meter.

Beberapa menit keduanya berjalan, dengan Bavik mengekor, tidak berani berjalan berdampingan …

“Itu rumahnya,” kata si gondrong sambil menunjuk bangunan kost yang diselimuti cahaya lampu temaram, seperti panggung teater menjelang adegan klimaks. Di depan rumah itu berdirilah sosok yang ia kenal: kakaknya.

“Oh, akhirnya...” bisik Bavik  lega. “Thanks God …”

“Terima kasih, ya,” ucapnya tulus kepada pemuda gondrong yang kini berjalan menjauh kembali ke dunia malamnya.

Kakak Bavik dan beberapa kawan mereka menyambutnya dengan pelukan hangat yang mencairkan semua lelah dan ketakutan.

“Kenapa lama sekali, Dek?” tanya kakaknya.

“Kami antre di Semuntai hampir empat jam baru bisa menyeberang,” jelas Bavik , masih ngos-ngosan.

“Itulah, kakak sanmpai tidak berani tidur memikirkamu. Ini sampai jam 03 lewat subuh.”

“Syukurlah kamu sudah sampai dengan selamat,” ujar Berlina, teman sekost kakaknya. “Kami semua cemas banget. Takut kamu hilang ditelan penculik.”

“Ayo, kita masuk,” ajak sang kakak.

Lihat selengkapnya