Film yang ditonton Otong cukup memuaskannya. Genre fiksi ilmiah; perpaduan ledakan dahsyat, senjata canggih, dan bela diri futuristik ala ninja antariksa, membuatnya merasa uang tiket yang lumayan mahal itu sepadan. Ada mutu ada harga …
Vin Diesel beraksi seperti manusia besi berselimut otot, dan Otongikut tenggelam dalam dunia penuh sinar laser dan loncatan antigravitasi.
Selesai menonton, hari masih belum terlalu sore. Otong memutuskan untuk jalan-jalan ke Ahmad Yani Megamall. Dia menyusuri bagian Hypermart, tempat di mana televisi-televisi canggih dipajang layaknya bidadari digital dari berbagai negeri: Jepang, Jerman, Korea, Perancis, hingga Tiongkok.
Mulai dari teknologi plasma, LCD, hingga LED dengan layar HD Ready sampai 8K yang beningnya seperti bisa menampilkan masa depan. Ukuran 32 inci hingga 60 inci, dari yang datar hingga yang cekung seperti papan selancar alien.
Di tengah-tengah cahaya neon dan bisikan teknologi mutakhir itu, Otong menatap satu layar 42 inci 8K buatan Korea Selatan, lalu bergumam dalam hati, "Suatu hari nanti, kau akan kupinang, wahai makhluk persegi penuh piksel tinggi."
Pukul 16.30 waktu di jam digital Casio miliknya, jam yang sudah menemaninya sejak kuliah semester dua. Otong beranjak dari Megamall, menstarter Astrea Grand kesayangannya, dan meluncur ke arah Jalan Jawa.
Empat puluh menit kemudian, dia tiba di rumah kost Bavik. Dia perlahan memarikirkan motornya, lalu berjalan dalam sunyi. Suasana tampak sepi, seperti langit sebelum hujan turun. Kosong dan penuh firasat.
Tapi pintu tampak tertutup. Otong berpikir, “Kalau Bavik pergi, pasti digembok dari luar.” Dan benar saja, tak ada gembok di situ. Artinya... seseorang ada di dalam. Atau lebih tepatnya: Bavik ada di dalam.
Sendirian.
Atau... apakah benar sendirian?
Dia naik dan mengetuk pintu.
"Thuk! Thuk! Thuk!"
"Bavik... Vik... Dek...," panggilnya pelan tapi pasti.
Beberapa detik kemudian, pintu terbuka. Dan dunia pun seperti berhenti berdetak.
Bavik muncul. Tapi tidak sendiri.
Di sampingnya berdiri seorang pria; lumayan tinggi, tetapi sangat tampan seperti artis Korea, berwajah bersih, dan tubuhnya ramping seperti model yang keluar dari iklan sampo. Wajah mereka berdua merah padam.
Mata berkaca-kaca. Rambut kusut. Nafas terengah. Seperti baru saja... menyelamatkan diri dari badai. Tapi badai macam apa?
Otong tersenyum... meskipun hatinya meledak seperti planet Alderaan.
"Oh, maaf. Saya kira Bavik sedang sendirian," ucapnya datar, mencoba tidak menonjolkan luka di hatinya.
Bavik buru-buru berkata, “Bang Otong, kenalkan... ini Ho Chi Minh. Pacarku. Yang sering aku ceritakan sama Bang Otong.”
Cerita? Kapan … Bohong! pikir Otong. Tidak pernah sekalipun Bavik menyebut nama itu. Tak pernah satu kalipun dirinya bertanya, karena terlalu takut mendengar jawaban nama orang yang kini berdiri di depannya.
“Bang Minh, ini Bang Otong. Orang yang selalu membantuku... menjaga aku saat Bang Minh belum ada di sini,” kata Bavik .
Suaranya seperti jarum yang menggores kulit telinga Otong.
Otong mengulurkan tangan. Ho Chi Minh menyambut dengan ragu, seolah berjabat dengan masa lalu yang belum selesai.