"Sudah cukup, Mbak," ujar Otong dengan senyum yang tak bisa disembunyikan.
“Tambah teh es, tambah pula bayarannya,” pikir Otong dalam hati sambil menghabiskan sisa kopi dingin yang tinggal seteguk.
"Berapa semuanya, Mbak?" tanyanya ringan.
Setelah Mbak Surti menyebutkan total harga mie instan dan minumannya, Otong membayar tanpa menawar.
Sambil melirik jam tangan, dia sadar waktu telah lewat pukul 13.00. “Bavik nggak kursus hari ini,” gumamnya.
Maka, ia pun memutuskan untuk mampir. Siapa tahu gadis itu sedang di rumah.
Namun, sesampainya di rumah kos Bavik, Otong mendapati suasana yang tak ia duga. Ho Chi Minh, kekasih Bavik, sudah bertamu. Bahkan tunangan kakak Bavik pun ada di sana, bersama beberapa laki-laki lain yang tengah bercengkerama dengan para penghuni kos perempuan lainnya.
Ruang tamu sempit itu seolah disulap jadi forum diskusi dadakan.
Dengan agak kikuk, Otong tetap masuk. Ia kenal dengan tunangan kakak Bavik, jadi ia merasa sedikit lega. Meski hatinya seperti sedang disayat perlahan, ia tetap berbaur dengan gaya khasnya yang supel.
Ia ikut dalam obrolan ramai. Dari politik ke budaya, dari lagu-lagu cinta sampai diskusi soal planet luar angkasa, semua bisa ia ikuti. Ia berbicara luwes, dan tak sekali pun membuat suasana mati gaya.
Dari obrolan itu juga, ia akhirnya tahu tempat tinggal Ho Chi Minh selama di kota gubernuran. Lebih mengejutkan, esok pagi Ho Chi Minh akan pulang karena masa izinnya berlibur telah habis.
Begitu Ho Chi Minh pamit, Otong turut mengangguk minta diri. Namun di luar rumah, ia mengejar langkah Ho Chi Minh dan berkata pelan namun mantap, "Dek Chi Minh, boleh abang bertamu ke tempat tinggalmu?"
Ho Chi Minh, meski hatinya diliputi rasa ingin tahu, mengangguk. "Silakan, Bang."
Rumah yang dituju ternyata milik paman Ho Chi Minh dari pihak ibu. Di situlah Ho Chi Minh biasa menginap saat turun ke kota gubernuran.
"Masuk, Bang," ucap Ho Chi Minh sopan.
Di Kalimantan Barat, panggilan untuk yang lebih tua memang ‘Abang’ bagi laki-laki dan ‘Kakak’ bagi perempuan. Yang muda, semuanya cukup dipanggil ‘Adik’.
"Terima kasih, Dek Chi," balas Otong sembari mengikuti langkah Ho Chi Minh ke dalam rumah besar itu.
Mereka duduk sebentar di ruang tamu sebelum Ho Chi Minh dipanggil ke dalam. Tak lama ia kembali.
"Kita makan dulu, Bang," ajaknya ramah.
"Yuk!" sahut Otong yang tak ingin menolak ajakan tuan rumah. Lagipula, siapa tahu makanan bisa menenangkan pikirannya yang bergejolak.
Keduanya berjalan ke dapur, melewati beberapa ruangan yang sunyi. Di meja sudah tersaji aneka sayur dan nasi yang menggoda.
Tanpa basa-basi, Ho Chi Minh mulai mengambil nasi dan lauk, diikuti Otong. Mereka makan dengan lahap. Setelah selesai, mereka tetap duduk menunggu ‘nasi turun’, seperti istilah orang kampung.