Satu Hati Dua Cinta

Yovinus
Chapter #32

32-Hati yang Mengalah, Rasa yang Membekas

 

Besoknya, tepat pukul tiga sore, Otong sudah tiba di tempat kos Bavik. Tujuannya satu: membantu gadis itu bersiap menuju terminal.

Bus malam yang akan ditumpangi Bavik dan Ho Chi Minh akan berangkat pukul tujuh malam, artinya mereka masih punya waktu tiga jam, cukup untuk mengepak barang dan bercakap ringan sebelum berpisah.

Satu jam terakhir akan digunakan untuk perjalanan menuju Terminal Batu Layang, yang berjarak sekitar 26 kilometer dari Kota Baru.

Jarak itu tak seberapa bagi pengendara yang nekat, tapi tidak untuk Otong. Ia lebih memilih mengemudi santai, menjaga keselamatan dengan kecepatan sedang. Apalagi kali ini ia membawa seseorang yang penting.

Ia lebih rela terlambat sedikit daripada ngebut dan celaka.

Di ruang tamu rumah kos itu, barang-barang Bavik sudah dikumpulkan. Ada beberapa kotak berisi oleh-oleh untuk orang tua Bavik, dibungkus seadanya dengan isolasi yang gampang copot.

Melihat itu, Otong langsung bergerak. Dengan sabar, ia mengambil tali rafia yang dibelinya sendiri dan mulai mengikat semua kotak itu, satu per satu.

“Tidak usahlah, Bang Otong. Ngapain sih sampai diikat segala begitu?” tanya Bavik, heran dengan kesungguhan Otong.

“Lu kan cewek, Bavik. Kalau di terminal malam-malam, mana sempat benerin bungkusannya? Nanti kesusahan bawa kotak ini. Kalau diikat begini, bisa tinggal dijinjing,” jawab Otong sambil terus mengikat, tidak mengindahkan protes kecil Bavik.

Bavik  hanya bisa diam. Dalam hatinya, ia membenarkan tindakan Otong. Ia memang lelaki yang teliti, berpikir jauh ke depan, seperti orang yang sudah kenyang pengalaman hidup. Dalam diamnya Bavik, ada kekaguman pada Otong yang tak bisa ditepis.

Ketika sore menjelang dan langit mulai menguning, keduanya pun tiba di terminal. Masih ada setengah jam sebelum bus berangkat. Mereka menatap ke sekeliling mencari seseorang, dan tak lama kemudian Ho Chi Minh terlihat dari kejauhan, melambaikan tangan dari pojok terminal.

Mereka menuju ke sana, setelah berhenti Otong langsung menyalami Ho Chi Minh. Bavik, begitu melihat kekasihnya, bergegas mendekat, menggenggam tangannya, lalu mencium pipinya kiri dan kanan.

Otong pura-pura tak melihat. Ia menyibukkan diri dengan menurunkan barang-barang dari motornya: dari bagasi, gantungan kiri-kanan, semuanya ia lepas satu per satu, seolah-olah sedang merapikan hatinya sendiri.

“Kayaknya udah semua deh barangmu, nggak ada yang ketinggalan, kan?” tanya Otong, meski ia tahu persis tak ada satu pun yang tertinggal.

“Sudah, Bang,” jawab Bavik  lembut.

Lihat selengkapnya