Bavik menatap langit-langit kamar kosnya yang kusam dengan tatapan kosong. Di luar, langit senja merona, seolah ikut mencibir nasib cinta yang sedang dia telisik dalam diam. Ia tahu, perasaan itu bukan lagi sekadar bunga yang mekar di musim semi, tapi sudah menjelma seperti semak berduri indah, tapi bisa melukai siapa saja yang terlalu dekat.
Ia tidak pernah tertarik pada pria yang tidak punya sikap. Tidak ada yang lebih menjengkelkan daripada lelaki tanpa tata krama, apalagi yang tidak tahu cara menghargai perempuan.
Bavik muak pada tipikal lelaki yang pikirannya dangkal dan mulutnya hanya bisa meluncurkan rayuan basi. Baginya, cinta bukan soal memburu kesenangan sesaat, tapi tentang menghormati perasaan orang lain.
Dan ia tahu, kalau lelaki itu, Ho Chi Minh, jika pada masa pacaran saja tidak bisa menghargai wanita, maka besar kemungkinan pada saat menikah nanti, bisa jadi dia akan berubah menjadi monster tanpa kendali.
Tampan, tapi sungguh sayang, gumam Bavik perlahan dalam hati.
Dalam beberapa bulan terakhir, Bavik kembali menjalin hubungan dengan Otong. Tidak ada janji manis. Tidak ada kata aku cinta kamu atau aku sayang kamu yang terucap. Tapi, ada pelukan hangat dan ciuman lembut yang mereka bagi hampir setiap minggu.
Hanya sekedar itu … tidak lebih …
Namun setiap kali Otong memeluknya, Bavik kadang merasa ada sesuatu yang mengeras di tubuh lelaki itu. Meski begitu, Otong tak pernah melakukan hal yang kelewat batas, apalagi memaksanya.
Tidak seperti Ho Chi Minh yang selalu agresif dan berani meminta hal-hal yang hanya pantas dilakukan oleh suami istri sah di ranjang mereka.
Dalam Tabel Seleksi Cinta buatan Bavik , tabel imajiner di kepalanya, Otong jelas menang satu poin atas Ho Chi Minh. Tapi, ia menahan diri untuk tidak menjumlahkan skornya sekarang. Masih ada waktu enam bulan ke depan untuk mengamati. Karena cinta, seperti cuaca, bisa berubah kapan saja.
Hari-harinya mengalir seperti air, santai dan tak terburu-buru. Ia tidak ingin membuat keputusan besar hanya karena hasrat atau tekanan. Dan, meskipun ada desakan dari dalam hati yang sering mengingatkan agar berhati-hati, ia tetap menikmati perhatian dua lelaki yang karakternya bagai langit dan sumur.
Ia wanita biasa. Dan wanita biasa, kadang juga butuh rasa.
Lagipula, setelah menikah nanti, ia berjanji akan setia pada satu pilihan. Entah Ho Chi Minh atau Otong. Tak akan ada lagi ciuman tanpa batas. Tak akan ada pelukan-pelukan menggoda di sudut ruang sepi.
Lelaki-lelaki lain yang dulu mengincarnya kini sudah menyerah. Mulyana dari Tanah Pasundan, Hasiholan dari Sumatera Utara, Beneto dan Baltasar dari Ambon, Christo dan Belen dari NTT, Bagaskoro dan Bamantara dari Jawa, Madar dari Madura, bahkan Afrizal dari Melayu Sambas, semua mundur teratur.
Mereka sadar: Bavik sudah punya pacar.
Padahal dulu, mereka suka bilang, "Satu detik sebelum janur kuning dipasang, peluang masih terbuka!" Tapi sekarang, janur itu belum tergantung, tetapi Bavik pun sudah menutup pintu rapat-rapat.
Mereka lalu mengalihkan sasaran pada teman-teman Bavik . Yang cantik masih banyak, walau tak secantik dirinya. Bahkan kakak Bavik , yang sudah bertunangan, masih saja jadi sasaran lirikan.