“Saya dengar dari temanku, katanya dia dulu sering dibooking juga,” ujar Otong dengan mata menyipit agak malu-maulu. Karena di daerah mereka adatnya masih kuat, sehingga bicara barang yang begituan dengan orang tua itu sangat memalukan ...
“Maksudmu, booking tiket bus? Ayah kan belum pulang, kok udah mau dipesenin tiket?” tanya ayah Otong.
Aduuuh, dasar pendengaran orang tua ini konslet, keluh Ortong. "Bukan, Yah. Teman ku cerita cewek itu sering di pakai berganti gilir ..."
"Aaah, peduli benar. barang itu kan tidak habis, kan masih seperti itulah, tidak lebih tidak kurang ..."
“Ndak bisa Ayah. Biar pun ndak habis, tapi jika di pakai bersama, ndak mau aahh. Bahkan temanku sendiri yang cerita sendiri, Yah. Termasuk dia juga dulunya sering membooking cewek itu,” jelas Otong, agak malu-malu.
“Bodoh benar kamu. Kenapa masa lalu jadi masalah? Yang penting sekarang dia udah tobat dan kaya raya. Di zaman sekarang ini, nyari kerja itu lebih sulit daripada cari cinta. Kamu manfaatin aja dia. Kalau nanti kamu udah sukses dan mau cari istri yang lebih muda, gampang! Duit bisa bikin dunia berputar, Nak,” ceramah sang ayah panjang lebar, seperti dosen terbang di seminar motivasi.
“Tapi aku nggak bisa, Yah…” jawab Otong pelan, menunduk.
Mana mungkin Bavik bisa disamakan dengan wanita mantan penjaga biliar itu, batin Otong . Bavik itu bagai embun pagi di tengah ladang surga, sementara si mantan penjaga biliar itu... yaa... bisa dibilang sudah sering jadi objek salome oleh para lelaki bertaring miring pelanggan biliar.
Siapa tahu sekarang perempuan itu tengah menyimpan penyakit yang tidak disebutkan di brosur kesehatan mana pun, walau tampak segar di luar. Siapa yang tahu? Otong sampai bergidik membayangkannya, seperti kena tiupan angin malam sambil makan es serut.
“Hemmm,” dengus ayahnya sangat kesal.
“Jadi siapa perempuan yang kamu minta ayah lamar itu?” tanyanya lagi, mulai serius.
Otong menyebutkan nama: Bavik.
“Siapa itu? Anak siapa? Orang mana? Suku apa? Golongan darahnya apa?” tanya sang ayah seperti wartawan investigasi.
“Itu loh, Yah,” jawab Otong dengan sabar. “Anaknya Pak Prindavan, tempat kita sering singgah dulu pas belum ada penginapan di kota kabupaten.”
“Ooooh,” sahut ayahnya mulai mengingat. “Anak yang nomor berapa itu? Yang tua kah?”
Otong menjelaskan dengan hati-hati, tapi ekspresi ayahnya mendadak kecut.
“Kenapa bukan yang tua? Ayah lihat kakaknya lebih cantik dan lebih matang. Lagian, katanya kamu suka yang cantik?”
“Kakaknya udah tunangan, Yah. Dan aku lebih cocok sama Bavik. Soal kedewasaan, itu relatif, Yah. Bukan berdasarkan umur, tapi kedalaman hati.”
“Ya sudah, kalau itu maumu. Nanti ayah lamar, deh.”
“Tolong ya, Yah. Aku bener-bener cinta sama dia.”
“Iya, iya,” sahut ayahnya sambil mencibir geli.
“Bisa janji, Yah?”