Satu Hati Dua Cinta

Yovinus
Chapter #38

38-Sein Kiri Belok Kanan

 

Jika lamaran seorang pria diterima oleh keluarga sang gadis, maka upacara adat akan digelar penuh sukacita. Gong dipukul sebanyak tujuh kali, sebuah irama sakral yang menandai diterimanya harapan seorang laki-laki.

Seperangkat kain kisok, penanda niat baik itu, langsung dibuka. Prosesi lalu dilanjutkan dengan ritual sahki’, yang bukan main khusyuknya. Seekor ayam jantan dipersembahkan, darahnya diteteskan sebagai saksi bisu janji awal sebuah kehidupan bersama.

Tak cukup dengan itu, seekor babi juga disembelih sebagai jamuan pada hari yang cerah tersebut.

Biasanya para pembawa kisok datang di pagi hari, waktu yang dipilih bukan tanpa makna. Karena pagi, bagi masyarakat Otong, adalah lambang harapan baru. Seperti halnya memulai kehidupan rumah tangga, penuh impian yang masih segar dan belum lelah.

Namun, jika pihak perempuan belum bisa menerima atau menolak, kain kisok itu dibiarkan tetap terikat. Tak satu pun dari keluarga menyentuhnya. Mereka hanya berkata pelan, “Kami akan bermusyawarah keluarga dulu.”

Artinya, harapan masih menggantung, belum gugur, tapi belum juga tumbuh.

Beberapa hari setelah itu, akan datang utusan keluarga, biasanya seorang yang dituakan atau dihormati, untuk menyampaikan keputusan: diterima atau ditolak. Karena, bagi masyarakat tempat Otong tinggal, menikahi seorang gadis adalah juga menikahi seluruh keluarganya. Maka suara semua harus dihargai.

“Terus, kapan tepatnya kamu wisuda?” tanya ayahnya, memecah lamunan Otong  yang tengah tenggelam dalam kenangan adat istiadat kampung halaman.

“Minggu depan, Yah. Hari Rabu,” jawab Otong  pelan, seolah menarik diri dari pusaran pikirannya sendiri.

“Tempatnya di mana?”

“Di Auditorium, Yah.”

“Terus, Ayah harus pakai baju apa?”

“Pakai jas lengkap dan peci, Yah.”

“Ooh, syukurlah. Jas ada, baru beli kemarin,” ucap ayahnya dengan bangga. “Hanya peci yang belum. Rencana beli di sini aja. Yang lama itu, aduh, warnanya sudah lebih tua dari Ayah.”

“Kita bisa beli di supermarket atau di pasar rakyat, Yah.”

“Mana yang baik?”

“Keduanya baik, kok. Kalau di supermarket, harga sudah pas. Kalau di pasar rakyat, harus pandai menawar. Tapi keuntungannya, kita bantu pedagang kecil, Yah.”

“Oh ya sudah, ke pasar rakyat saja. Sekalian bantu kaum kurang mampu secara ekonomi.”

“Kalau Ayah mau, siang ini kita berangkat. Naik motor saja, biar santai.”

“Terus, kamu sendiri pakai baju apa pas wisuda?”

Lihat selengkapnya