Satu Hati Dua Cinta

Yovinus
Chapter #39

39-Yudisium, Wisuda, dan Perut Demo


Saat hari Yudisium tiba, Otong berdiri di antara lautan toga dan senyum lebar. Wajah-wajah para wisudawan FKIP bersinar bak lampu taman di malam minggu; penuh harapan, bahagia, dan sedikit panik karena masa depan mengetuk pintu.

Setelah menempuh perjalanan panjang, akhirnya mereka lulus juga! Namun ini bukanlah akhir, ini hanya gerbang awal menuju dunia kerja: dunia yang katanya keras, tak kenal ampun, dan penuh kopi sachet.

Acara yudisium memakan waktu setengah hari lebih. Dimulai dari pidato formal penuh petuah dari Dekan FKIP; seorang pria paruh baya berusia 50-an, tetapi wajah dan vitalitasnya menyaingi presenter iklan suplemen.

Setelahnya, diumumkanlah deretan prestasi: lulusan termuda, lulusan tertua, IPK tertinggi, masa studi tercepat; semua nama dipanggil dengan intonasi megah, seperti pengumuman nominasi Oscar.

Otong? Tidak masuk daftar apa pun. Nol prestasi. Tapi baginya, bisa lulus saja sudah seperti menang undian umroh. Nilai, pikirnya, bukan harga mati. Di masyarakat nanti, orang lebih menghargai sikap dan kemampuan bertahan hidup, bukan IPK di ijazah yang hanya dibuka saat melamar kerja pertama kali.

Untuk mendapat berbagai prestasi apapun itu, berbagai faktor menjadi pendukungnya. Bukan berarti orang tidak ada prestasi itu bodoh, begitu juga yang mendapatkan banyak prestasi bukan juga pasti pintar.

Mayoritas penghargaan disapu bersih oleh mahasiswa keturunan Tionghoa dan Melayu. Otong mengenal banyak dari mereka; mereka bukan manusia super, bukan juga alien dari planet Pluto, tapi memang rajin, serius, fokus, dan hidupnya stabil.

Tak ada waktu mereka untuk rebahan sambil nonton drama Korea. Belajar adalah ibadah, tugas adalah harga diri.

Dan iya, mereka tak hanya pintar, tapi juga bertenaga. Gizi? Terjamin. Musik? Selalu hadir. Karaokean di rumah? Rutin. Otak pun senang. Inilah yang menurut Otong boleh ditiru oleh sebagian masyarakat Dayak.

Dengan gaji mapan dari jadi pengusaha atau pejabat, makanan empat sehat lima sempurna pun mulai menjadi kebiasaan. Badan mereka jadi besar-besar seperti pemakin basket Tiongkok dan USA. Tapi gizi saja tak cukup, tetap butuh semangat belajar dan ketekunan, bukan cuma saat ulangan saja otaknya diaktifkan.

Ketika hari wisuda tiba, dua hari setelah yudisium, suasana berubah menjadi lebih megah. Pidato rektor, pengumuman prestasi universitas, hingga proses wisuda yang resmi dan khidmat, semuanya membuat hati para lulusan berdebar.

Lagi-lagi, mahasiswa keturunan Tionghoa mendominasi. Otong hanya bisa tersenyum dan menggumam, “Yah, mungkin karena mereka orangnya serius belajar dan gizi terjamin sampai barang harampun di makan.

Namun ada satu hal yang paling menusuk hati Otong, adalah ketika ia melihat hampir semua temannya datang bersama orang tua dan pasangan hidup. Sementara dirinya? Bavik tak hadir. Bahkan mereka belum bertunangan.

Hatinya merintih pelan, seperti radio butut di warung kopi. Sambil meneteskan auir mata, dalam hati ia bertekad: “Aku harus ambil S2 dan S3. Supaya nanti Bavik bisa duduk di kursi undangan, pakai baju manis, dan memelukku saat namaku dipanggil.”

Wisuda selesai menjelang sore. Perut pun protes keras. Para cacing di dalam perut berdemo lebih heboh dari demonstran di depan gedung DPR. “Apakah demo itu dimulai dari perut kosong?” pikir Otong ngelantur.

Untungnya, sang ayah mengajak membeli nasi chap chai; dua kali lipat porsi manusia normal, dan membawanya ke kos untuk disantap bersama. Kebetulan semua penghuni kos libur, jadi acara makan siang pun berlangsung seperti pesta rakyat kecil: sederhana, ramai, dan penuh tawa.

Sebelum makan, mereka berdoa bersama. Setelah itu Otong berkata, “Ayo, dimakan saja. Jangan sungkan. Makanan tidak punya hati, tapi kita punya perut.”

Lihat selengkapnya