Anak mereka hanya dua orang, semuanya laki-laki. Satunya sudah kelas dua SMP, satunya lagi kelas satu. Melihat kenyataan itu, bisa dipastikan bahwa agenda penambahan populasi keluarga sudah ditutup permanen.
Pada malam yang sederhana itu, menu makan malam pun ikut merakyat: tumis sawi putih dengan ikan teri, ikan gembung pisang yang digoreng bertepung, rebusan daun ubi plus daun pepaya, dan sambal terasi yang bersatu mesra dengan tomat.
Selesai makan, mereka duduk-duduk santai di ruang tamu. Kopi hitam mengepul di gelas plastik bening bertuliskan "Happy Wedding". Setelah seruput terakhir, mereka berpamitan. Mereka sadar, tuan rumah juga butuh istirahat demi menyambut pagi yang akan menyeret mereka kembali ke dunia kerja.
Sepeda motor dijalankan perlahan. Malam hari di jalanan itu seperti sedang diuji adrenalin. Anak-anak muda suka ngebut seperti sedang syuting film action low budget. Sopir truk dan bus besar pun kadang ugal-ugalan, seolah sedang balapan F1 dalam versi lokal. Maka satu-satunya cara untuk tetap hidup adalah: waspada.
Makanya, sepeda motor milik Otong tak pernah dimodifikasi aneh-aneh. Semua perlengkapan keselamatan masih utuh. Bahkan kaca spion tanduk kerbaunya tetap orisinal pabrikan. Ia percaya, dari spion itulah ia bisa mendeteksi gerakan ninja-ninja malam di jalanan, dan menghindar sebelum tubuhnya bersatu dengan aspal.
“Malam ini mau nonton, Ndak Sar?” tanya Otong , sembari tetap fokus pada jalan.
“Apa?” Baltasar mendekatkan telinganya. Suara Otong kalah dengan deru knalpot truk.
“Nonton.”
“Nonton?”
“Iya!”
“Maksudmu nonton apa?”
“Di bioskop.”
“Ooh, kupikir nonton orang jual obat di pinggiran jalan itu,” sahut Baltasar.
Memang, akhir-akhir ini tren jualan obat di pinggir jalan sedang naik daun. Obat-obatnya semua katanya "kualitas internasional", meski izin edarnya entah dari planet mana. Para penjualnya tampil mencolok, ada yang pakai jas, ada yang pakai jubah dukun.
Tapi yang bikin Otong kagum justru bukan obatnya, melainkan kemampuan ngomong mereka. Jago persuasi, jago sulap, bahkan jago ngibul!
“Ndaklah. Maksudku nonton film di bioskop,” lanjut Otong .
“Aku tak pernah nonton film. Lagi pula, aku bokek nih,” keluh Baltasar. “Orang rumah tak kirim duit lagi dari kampung.”
“Ya udah, malam ini aku traktir. Tapi ngomong-ngomong, gimana kamu bisa tetap makan kalau kiriman uang sudah stop?”
“Aku jadi tukang masak dan tukang belanja buat Acun. Kau tahu sendiri, dia itu kan maunya hidup model hotel: terima beres, malas masak,” jawab Baltasar, sambil nyengir dari belakang.