Otong sumringah bukan main ketika mendengar kabar dari Simon: dia boleh ikut melamar pekerjaan juga! Ternyata yang menentukan bukan jurusan kuliah, tapi nilai hasil tes yang diranking, dan tiga peringkat terataslah yang akan diterima.
Perusahaan kayu itu lebih memilih calon karyawan yang bisa dibentuk dan berprestasi, bukan yang cuma pamer gelar segambreng seperti nama pejabat kelurahan yang tiga baris tak muat di kartu nama. Bagi mereka, yang dicari bukan gelarnya, tapi otaknya dan tentu, sikap mau belajar.
Mendengar peluang itu, Otong dan Baltasar langsung pamit dari Simon dan tancap gas ke pasar. Target mereka: beli kertas folio bergaris untuk menulis surat lamaran, stopmap folio, dan memfotokopi segala dokumen penting.
Keesokan harinya mereka pun berburu surat keterangan sehat, SKCK, dan segala macam surat yang berbau formalitas dan berlogo basah.
Dalam tempo dua hari, semua berkas berhasil mereka kumpulkan. Namun, masalah baru muncul: membuat surat lamaran tulisan tangan. Ternyata, Baltasar agak kelimpungan.
“Tolong bantu aku, kawan,” pinta Baltasar sambil mengerucutkan bibir. “Tulisanku kalau pakai tangan itu seperti cakar ayam patah hati. Banyak coretan dan ulang-ulang!”
“Bagaimana, ya?” Otong ragu. “Aku juga sedang bikin untuk diriku sendiri. Nanti kalau tulisannya sama, malah dikira copy-paste tangan.”
“Bisa enggak tulisannya kau ubah dikit gitu? Biar kayak tulisan anak ayam yang lagi belajar nulis.”
“Bisa sih, tapi bakal jelek banget. Nanti dikira anak TK jurusan kedokteran.”
“Ndak apa-apa, yang penting bukan tulisan aku yang kayak benang kusut!”
“Ya sudah, kalau begitu aku bantu,” ujar Otong akhirnya. “Tapi kutuntaskan punyaku dulu, ya?”
“Siap. Aku akan menunggumu dengan sabar seperti istri nelayan,” jawab Baltasar sambil melambai-lambai tangan dengan gaya lebay.
“Ih, jijik! Jaga tanganmu!” kata Otong sambil menjauh.
Baltasar tertawa geli, puas betul melihat Otong meringis jijik seperti anak ayam kena air dingin. Padahal dia tidak benar-benar melambai, hanya iseng menguji reaksi kawannya yang polosnya sudah level sereal tanpa gula.
Bagi Baltasar, menjahili Otong adalah hiburan murah meriah tanpa perlu harus membayar. Free of charge.
Setelah surat lamaran dirinya rampung, Otong pun menyelesaikan surat milik Baltasar hanya dalam waktu sejam. Lalu, dengan sangat teliti, dia memeriksa ulang semua berkas.
Jangan sampai surat penting ketinggalan seperti kejadian waktu daftar lomba mewarnai dulu.
Begitu semua lengkap, keduanya berangkat mengantar lamaran ke kantor perusahaan kayu yang mereka incar. Kantornya ternyata luar biasa luas, bahkan lebih besar dari perkiraan Otong yang sering melewati tempat itu.
Dari luar memang tampak biasa saja, tapi begitu masuk, ternyata arealnya mencapai 400 meter kali 500 meter. Sebuah miniatur kota kayu, lengkap dengan gedung-gedung, kendaraan yang berjajar, dan pekerja yang lalu lalang.
Petugas penerima berkas lamaran adalah seorang gadis mungil dengan kulit putih seperti tisu basah dan gincu merah menyala seperti sirup tumpah. Ia memeriksa berkas mereka satu per satu, mencatatnya dalam buku besar, lalu menyerahkan tanda terima.
Setelah itu, dia melangkah ke lemari di samping meja dan meletakkan map mereka di tumpukan dokumen yang sudah tebal bak skripsi kolektif. Rupanya sudah 150 pelamar.
“Banyak juga yang melamar, ya, Mbak?” tanya Otong dengan senyum andalan anak kos level akhir bulan.
“Yah, lumayan. Sudah 150 orang termasuk kalian,” jawab si Mbak santai, seolah angka 150 itu bukan angka, tapi jumlah cabe rawit di dapur.
Otong sempat melirik tumpukan berkas dan menemukan nama mereka di nomor 149 dan 150. Dalam hati ia menghela napas, “Astaga naga... Tiga kursi, seratus lima puluh kepala. Ini sih kayak ujian CPNS versi lokal.”
“Jangan lupa, Senin depan tesnya, ya,” ujar si mbak dengan suara ramah tapi tegas.
“Siap, Mbak!” sahut mereka bersamaan seperti paduan suara dadakan.
“Pukul berapa, Mbak?”