“Iiiih!” jerit Leonardi sambil mengernyitkan dahi, seperti baru saja melihat pocong sedang cuci tangan di wastafel sambil nyanyi lagu dangdut.
Ia baru bangun dari tidurnya, tidur yang bukan sekadar tidur, tapi semacam hibernasi spiritual seekor beruang kutub yang sedang patah hati. Dengan langkah gontai dan rambut mirip kemoceng rontok, ia menyeret dirinya keluar dari kamar kos yang pengap dan bau perjuangan.
Leonardi bukan manusia biasa. Ia adalah entitas langka, satu spesies terakhir dari golongan tukang tidur profesional yang kemalasannya sudah masuk legenda urban anak kos.
Kalau kemalasan bisa dijadikan cabang olahraga, Leonardi pasti langsung dapat medali emas tanpa babak penyisihan. Bahkan panitia pun mungkin akan malas bikin lombanya, tahu Leonardi ikut.
Ia bisa tidur dalam kondisi apapun: tetangga nyanyi fals, alarm kebakaran, bahkan saat digoyang gempa 5 SR pun dia tetap mendengkur. Ambil remote TV? Bisa ditunda tiga jam sambil berharap remote-nya pindah sendiri dengan kekuatan doa.
Dan ajaibnya, dia bangga.
“Hidup itu bukan untuk capek-capek,” katanya suatu hari, sambil rebahan dengan ekspresi filosofis, seperti Socrates kepelet kasur.
Leonardi adalah lambang hidup rebahan yang utuh dan paripurna. Ia mengidolakan gaya hidup Acun; makan tinggal makan, minum tinggal teguk, kerja? “Nanti-nanti aja,” semboyannya.
Tapi beda dari Acun, Leonardi punya skill tambahan: pelit akut stadium empat. Bahkan beli tisu aja dia tawar, dan kalau bisa semua barang di dunia ini gratis—termasuk utang.
“Masih sakit, kah?” tanya Acun datar, sambil membuka tutup rice cooker seperti membuka nasib hari ini.
“Ndak lagi,” jawab Leonardi, singkat padat, sambil menguap lebar seperti singa pensiun dari sirkus.
“Mampukah kamu memasak?” lanjut Acun, masih dengan wajah datar tanpa ekspresi, layaknya karakter figuran sinetron.
“Mampu,” sahut Leonardi dengan nada malas yang nyaris seperti desahan semangat yang hilang arah.
“Kamu langsung masak saja sayur kita itu. Sanggup, Sar?” seru Acun, kini melirik ke arah Baltasar yang berdiri di ambang dapur seperti penjaga gerbang dunia kuliner bawah tanah.
“Siap, Boss!” jawab Baltasar, sok semangat sambil menepuk dada seperti mau perang melawan mie instan.
“Perlu dibantu, ndak?” tanya Sangen, anak kos yang hidupnya seperti perpaduan pekerja pabrik, tukang las, dan koki rumahan.
“Kalau mau, sih silakan,” jawab Baltasar dengan senyum lesu seperti kucing baru dikejar anjing tetangga.
Otong langsung bersiap ke dapur. Wajahnya bersinar seperti baru dapat bonus THR dari kampung. Memasak adalah dunianya, apalagi bahan-bahan sudah tersedia.