Tidak ada satu pun hal di dunia ini yang sia-sia untuk dipelajari. Kita tidak pernah tahu kapan sebuah pengetahuan kecil akan menjadi penyelamat besar di masa depan.
Kadang, seperti naluri ikan mengikuti arus sungai, manusia pun mengikuti takdir yang telah digariskan oleh Yang Mahakuasa; tanpa sadar, tanpa peta, tapi sampai juga di tujuan.
Hal inilah yang dialami oleh Otong. Bertahun-tahun ia rela menjadi “korban sukarela” yang kerap mengerjakan tugas-tugas ekonomi dan matematika milik teman-temannya.
Tanpa pamrih, tanpa fee, tanpa tahu bahwa ternyata itu adalah latihan rahasia menuju masa depan cerah. Dan benar saja, semua usaha itu berbuah manis ketika ia melamar kerja di sebuah perusahaan kayu bonafide.
Soal-soal ekonomi dan matematika saat tes, ia libas habis seperti makan kerupuk di angin sepoi.
Bayangkan, dari 150 pelamar yang hadir dengan tampang optimis dan CV tebal, justru Otong; si bukan lulusan ekonomi, apalagi hukum, yang mendapat nilai tertinggi.
Yang lebih mengejutkan, temannya sendiri, Baltasar, yang notabene dikenal sebagai langganan juara kelas, malah gagal total.
Hari pengumuman itu mereka ikut berkerumun di depan papan hasil tes. Otong berdiri mematung, namanya terpampang di urutan pertama, lengkap dengan angka nilai yang bikin keringat dingin pelamar lain menetes.
Beberapa orang di sekitar menatapnya dengan mata antara kagum dan curiga. Bisik-bisik pun mulai terdengar:
“Pasti orang dalam, nih.”
“Nggak mungkin lulus kalau nggak pake jalur belakang.”
Klasik. Di Indonesia, keajaiban selalu dicurigai sebagai sihir nepotisme.
Sementara itu, Baltasar memandang daftar itu dengan mata berkabut. Dalam hati, ia mendidih.
“Masak sih dia bisa lulus, padahal aku selalu juara? Seharusnya nilainya nggak mungkin lebih tinggi dari punyaku,” gerutunya dalam hati.
Namun di bibir, yang keluar malah nada diplomatis.
“Hebat juga kamu ya, Ngen. Kok bisa lulus?” tanyanya sambil menepuk bahu sahabatnya, mencoba tersenyum, tapi wajahnya seperti roti gosong.
“Aah, ndaklah. Mungkin cuma faktor keberuntungan saja,” jawab Otong merendah seperti biasa, padahal hatinya menari tango.
Yang tak disadari Baltasar adalah bahwa keunggulannya selama ini hanya di buku teks. Ia seperti kalkulator canggih yang tak bisa bicara. Sedangkan Otong, meski tak selalu terlihat, rajin membaca apa saja: sejarah, filsafat, ekonomi, sampai artikel gosip.
Dan justru di situlah letak kekuatannya, pengetahuan yang meluas ke mana-mana, ibarat jaringan Wi-Fi tanpa password.
Sesuai pengumuman, Otong pun dijadwalkan untuk menghadap ke bagian HRD. Tapi sebelum masuk, ia sempat bernegosiasi dengan Baltasar.
“Sar, saya mau masuk dulu ke bagian HRD. Kamu tunggu di luar ya. Mungkin sebentar saja,” ujarnya dengan nada hati-hati.
“Hmm, gimana ya. Kalau kamu lama, rasanya ribet. Kira-kira berapa lama, Tong?” tanya Baltasar, ragu-ragu.
“Aku juga ndak tahu pasti. Soalnya nggak dijelasin untuk apa,” jawab Otong sambil geleng-geleng pelan.