Setelah segala urusan pertunangannya rampung, Otong bersiap angkat kaki kembali ke kota gubernuran keesokan harinya. Ia masih menginap di hotel murah yang terletak di sudut kota.
Hotel itu yang sepertinya lebih sering dihuni oleh pedagang keliling dan anak magang yang belum gajian. Bukan karena pelit, tapi karena... ya, pertunangan bukanlah pernikahan. Dan karena itu, tidur serumah dengan Bavik jelas melanggar rambu-rambu iman.
Meskipun Bavik tidak pernah melarangnya untuk tidur di rumahnya, lagi pula tidak mungkin mereka tidur bersama. Karena semua keluarga tahu, pertuangan bukan berarti bisa tidur bersama.
Sementara keduanya berpegang teguh pada ajaran agama, khususnya dua dari Sepuluh Perintah Allah yang cukup ‘menegangkan’, yakni: “Jangan berzina” dan “Jangan mengingini istri sesamamu.”
Meski zaman sekarang banyak orang yang menganggap perintah itu seperti rambu lalu lintas yang boleh diterobos kalau nggak ada polisi, misalnya kawan-kawan mereka yang rutin mampir ke lokalisasi atau mereka yang hobi pacaran kelewat batas atas nama suka sama suka.
Dewasa ini banyak orang yang berpura-pura, di luar seperti malaikat, tetapi diam-diam orang banyak bertindak di luar batas dan etika. Tapi masih menganggap diri hidup suci.
Namun bagi Otong dan Bavik, prinsip tetaplah prinsip. Mereka memutuskan untuk saling menjaga, hingga waktunya tiba di pelaminan.
Tentu saja, rasa rindu pada Bavik membubung seperti uap nasi yang baru matang. Tapi mau bagaimana lagi? Cinta, kadang harus dilatih lewat jarak dan kesabaran. Di atas bus yang membawa dirinya pulang, Otong susah tidur.
Wajah Bavik menari-nari di pelupuk matanya. Setiap kali dia pejamkan mata, yang muncul bukan mimpi indah, tapi bayangan Bavik dengan gaun tunangannya.
Apesnya lagi, karena beli tiket mepet dan dadakan, dia dapat tempat duduk di baris kedua paling belakang. Siapa sangka, kursi sebelahnya ditempati oleh seorang PSK dari lokalisasi luar kota.
Otong pun duduk diam, seolah-olah tengah melakukan ritual meditasi. Ia tak ingin membuat keributan, apalagi salah paham. Anehnya, sang PSK pun menunjukkan sikap yang mengejutkan: sopan, tenang, dan tidak seperti stereotip yang sering didengar.
Meskipun dari arah depan terdengar cekikikan dan suara-suara 'aneh' yang bisa bikin imam oleng, perempuan di sebelahnya ini hanya duduk diam, bahkan membalas sapaan Otong dengan senyum ramah.
Dalam hati, Otong berbisik: Ternyata, manusia ya tetap manusia. Pekerjaannya tidak otomatis mencabut akhlaknya.
Sesampainya di Pontianak, Otong langsung menuju kantor pusat perusahaan. Ia disambut HRD dengan ucapan:
“Selamat datang, tapi kamu harus langsung berangkat ke Ketapang ya. Penempatanmu di sana, sesuai lamaran kemarin.”
Untunglah, urusan tiket dan kendaraan sudah diurus perusahaan. Tinggal bawa badan dan semangat.
Dia pun naik kapal ekspres rute Pontianak–Ketapang. Perjalanan ini memakan waktu 12 jam, menyusuri sungai Kapuas Kecil yang mengalir membelah kota Pontianak.
Sungai ini memang tak sebesar 'kakaknya', Kapuas Besar, namun tetap jadi nadi kehidupan kota. Kota Pontianak sendiri berdiri di delta tempat kedua sungai itu saling membelai.
Mungkin nanti, seiring pembangunan, seluruh wilayah delta akan masuk wilayah kota. Tapi saat ini, masih banyak lahan rendah dan rawa di tepi Kapuas Besar yang belum tersentuh peradaban dan hanya disinggahi petani dan buaya.