Otong mempersiapkan sepeda motornya, sebuah motor tinggi merek Yamaha, yang khusus di pakai sebagai kendaraan dinas perusahaan. Setelah mengisi minyak di depot bahan bakar perusahaan, dia berangkat ke arah teluk Melano yang berjarak sekitar 250 kilometer.
Tetapi karena jalannya tidak mulus, pas seperti tubuh orang yang penuh korengan, maka membuat jalan yang hanya sejauh itu harus di tempuh sekitar 6 jam perjalanan. Begitulah hidup, mau tidak mau harus dia jalani.
Otong santai saja mengoiperasikan sepeda motyornya, ketika dia merasa jalannya agak kurang normal, seperti ban yang kempis. Dia menghe ntikan sepeda motornya dui peninggi r jalan, dan melihat keadaan ban belakang sepeda motortnya.
“Astaga,” gumam Otong kesal.
Karena ternyata ban belakang sepeda motornya kempis, padahal ini jauh dari pemukiman umat manusia. Apa lagi mengingat pulang Kalimantan yang sangat besar, tetapi manusianya sedikit. Manusia Kalimantan tidak mampu membuat anak, sehingga jarang mereka punya anak lebih dari dua orang.
Tidak seperti pulau lain, meskipun pulaunya kecil, anak mereka sampai belasan orang dalam satu keluarga. Karena memang harus di akui kemampuan reproduksi mereka sangat tinggi.
Mustahil mendorong sepeda motor ini jarak pemukiman yang berjauhan itu, pikir Otong sambil menghela napas. Dengan nekat, ia menaiki dan menjalankannya perlahan, berharap ban yang sudah mengempis tak semakin parah.
Ketika bebebrapa lama dia lalu merasakan pelak motor agak tidak normal lagi karena dia naiki seperti itu, Otong turun lagi dan kembali mendorong sepeda motornya seperti sebuah motor tag boat mendoroing ponton.
Dengan keringat bercucuran membasahi bajunya, Otong terus mendorong sepeda motornya yang bandel. Otot-otot lengannya bergetar seperti dawai biola yang ditarik terlalu kencang.
"Ini baru namanya olahraga ekstrem," gumamnya sambil menahan napas, "mendorong motor di tengah jalan yang lebih sepi daripada hati mantan."
Setelah empat puluh menit yang terasa seperti tiga abad (dan dua krisis eksistensial), akhirnya ia sampai di sebuah perkampungan.
Rumah-rumah kayu berdiri dengan angkuhnya, seolah menantang, "Coba saja mampir, kalau berani!" Bau tanah basah dan asap kayu bakar menyambutnya seperti aroma parfum termahal di alam semesta pedesaan.
Seorang bapak-bapak berperut buncit sedang duduk di beranda, menikmati rokoknya dengan gaya bak raja kecil yang sedang memerintah kerajaan teras. Mungkin tempat peristirahatan para penyadap karet, tebaknya dari bau getah karet yang menusuk hidung.
"Permisi, Pak!" teriak Otong dengan suara yang tiba-tiba jadi fals karena kehabisan napas.
"Maaf mengganggu, Pak. Mau tanya, ke arah depan ada bengkel motor tidak?"
"Nggak ada, Nak," jawabnya sambil geleng-geleng kepala. "Kenapa? Ban motornya bocor?"
"Iya, Pak," sahut Otong lesu. Hancur sudah harapannya. Perjalanan pertamanya sebagai karyawan baru ini berakhir di tengah jalan. Padahal, ia harus menyelesaikan tugas dari perusahaan.
"Jangan khawatir, Nak. Ban bocor itu biasa. Kami sering mengalaminya di sini," ujar lelaki itu sambil tersenyum.
"Aduh, Pak, jangan ngibur saya pakai kata-kata biasa dong. Saya sedang sedih nih!"