Pagi itu, Otong dan Pak Hasnol sedang sibuk berdiskusi sambil memegang kemoceng, senjata andalan mereka untuk menaklukkan debu-debu halus yang menyelinap ke ruang kerja. Sambil menyapu meja dan merapikan berkas yang berserakan, mereka tampak santai karena, yah, belum ada pekerjaan penting yang menuntut diselesaikan pagi itu.
Namun ketenangan itu hanya seumur jagung, tiba-tiba interkom di atas meja meraung nyaring, membuat kemoceng nyaris terlempar dari tangan Otong .
Volume interkom memang sengaja disetel maksimal. Maklum, walau berada di dalam ruangan, suara mesin-mesin dari pabrik plywood di luar sana kadang seperti konser heavy metal dadakan, berisiknya bukan main!
“Ya, halo. Ini Otong, bagian dokumen perkapalan,” jawab Otong sigap sambil mengangkat gagang interkom.
“Kamu ke ruangan saya dulu,” terdengar suara dari seberang.
Tak salah lagi, itu suara Pak Manajer Unit. Meskipun mereka belum lama kenal, tapi suara khas beliau sudah terekam permanen di telinga Otong .
“Siap, Pak,” sahutnya cepat.
“Oke. Saya tunggu sekarang.”
Otong menaruh gagang interkom itu perlahan, lalu menoleh ke Pak Hasnol sambil berbisik penuh gaya detektif:
“Dipanggil... Big Boss.”
“Cepat sana!” balas Pak Hasnol, matanya membelalak sedikit. “Jangan sampai dia naik pitam.”
“Sip!” sahut Otong sambil mengacungkan jempolnya seperti James Bond yang baru dapat misi. Ia pun melangkah keluar, menyusuri lorong kantor yang sunyi, hanya ditemani derit lantai dan bayangan lampu neon.
Setelah sampai di ujung lorong, ia berbelok menuju ruangan manajer yang berada di sayap lainnya dari bangunan tua itu. Setibanya di depan pintu, ia mengetuk pelan.
“Masuk saja, tidak dikunci!” seru suara dari dalam.
“Selamat pagi, Bapak,” ucap Otong sopan begitu kepalanya menyembul di balik pintu.
“Oh, ya, Otong . Silakan masuk!” sahut sang manajer sambil tersenyum ringan.
“Terima kasih, Pak.”
“Silakan duduk,” katanya, sambil menunjuk kursi di hadapannya.
“Baik, Pak. Terima kasih.”
Manajer itu kemudian sibuk sebentar dengan kacamatanya, menaikkannya ke batang hidung lalu memelototi seberkas dokumen seperti sedang membaca ramalan cuaca nasional. Setelah beberapa menit, ia mengangguk-angguk pelan, tersenyum penuh misteri, dan membubuhkan tanda tangan di sudut kertas.
Berkas itu dimasukkan ke dalam map kuning, yang lalu ditaruh di ujung meja. Ia pun menatap Otong dengan pandangan yang... agak sulit ditebak.
“Gimana, betah kerja di sini?”
“Betah, Bapak,” jawab Otong dengan mantap, meskipun hatinya sudah mulai curiga, pertanyaan pembuka itu terasa seperti intro lagu sedih.