Satu Hati Dua Cinta

Yovinus
Chapter #53

53-Rekor Terpecahkan

 

“Iya, Pak. Siap!”

“Setiap barang yang keluar harus kalian catat di buku stok barang,” ujar Pak Didit, suaranya tegas tapi nada bicaranya tidak seperti marah, lebih mirip dosen yang sedang menjelaskan soal ujian negara.

 “Dengan begitu, kita bisa tahu keluar-masuk barang, dan kalau stok hampir habis, bisa langsung dipesan lagi. Ingat, semua alat kita, termasuk mesin-mesin pabrik yang suaranya kayak gajah ngamuk itu, harus tetap bisa beroperasi lancar. Ini penting untuk kelangsungan proses produksi. Paham?”

“Paham, Pak,” jawab mereka serempak, seperti prajurit yang baru saja dilantik.

“Kalau ada barang permintaan yang nggak ada di stok, langsung catat, lalu kirim ke bagian purchasing. Biar mereka yang urus. Cari, beli, kirim. Gampang, kan?”

“Ya, Pak.”

“Oh ya, malam ini kamu langsung ikut tugas malam,Otong. Bisa?”

“Bisa, Pak,” sahut Otong, seperti prajurit lagi.

“Bagus. Nanti saya suruh mereka masukin namamu ke surat perintah. Itu penting buat dasar pembayaran upahmu. Kerja malam ini masuknya lembur, ya. Bayarannya berdasarkan gaji pokok.”

Otong  hanya mengangguk sambil menyimak. Ia tipe orang yang serius kalau urusan kerja. Kalau bisa, semua masuk ke otak kiri dan kanan tanpa bocor sedikit pun.

“Akbar! Sini dulu!” seru Pak Didit sambil melambai pada seseorang di depan loket perlengkapan.

Seseorang bertubuh jangkung, bungkuk seperti pipa sedotan bekas, berjalan mendekat. Kalau dugaannya benar, tinggi Akbar mungkin dua meter. Otong  sempat berpikir, kalau Akbar lari pakai helm, mungkin bakal dikira tiang lampu berjalan.

“Akbar, ini Otong. Dia baru dipindah ke sini. Ajari dia yang penting-penting, ya.”

“Siap, Pak.”

“Oh ya, seragam biru tua kita masih ada yang belum dipakai?”

“Ada, Pak.”

“Bagus. Kasih dua stel ke Otong, ya.”

“Siap, Pak.”

“Nah, Otong. Sekarang kamu ikut Akbar. Ganti baju pakai seragam kita. Di sini kerjaannya sering bersentuhan sama oli dan barang-barang yang lebih dekil dari dompet akhir bulan. Jadi biar bajumu nggak jadi artefak hitam abadi.”

“Siap, Pak. Terima kasih banyak atas bimbingannya,” ucap Otong sambil menjabat tangan Pak Didit. Lalu ia mengikuti Akbar menuju loket perlengkapan.

Baru saja Otong duduk di meja pelayanan yang menghadap ke loket, seseorang langsung datang.

Lihat selengkapnya